Minggu, 14 Agustus 2016

Anak Magang

Kemarin, tepatnya hari Jum’at, 12 Agustus 2016, saya kembali harus melepas kepergian rekan-rekan magang. Selama dua tahun bekerja, sudah beberapa kali saya menerima kedatangan rekan-rekan magang dari kampus yang sebulan kemudian biasanya selesai lalu pulang.

Kali ini rekan-rekan magang yang kebetulan (atau terpaksa ya? Haha) ditempatkan di lokasi bekerja saya, harus pulang kembali ke kampus mereka. Sedih? Enggak sih.. Cuma ya gimana gitu. Wong seumuran (*ngarep), udah kadung deket. Terus manggilnya cuma mas sama adek, nggak ada pak pak-an. Contoh:

”Dek, abang malam ini telat pulang ya?”

“Loh? Sejak kapan mas aku nikah sama kamu?”

Ehehehe.. salah.. Ya maksudnya kita saling sapa sudah seperti temen. Nggak pake resmi-resmian. Secara, saya sebenarnya risih juga klo dipanggil ‘bapak’. Apalagi klo tahu umurnya nggak beda jauh. Kayaknya udah tua banget gitu . Jadi ketika mereka pamit pulang, jadi semacam acara perpisahaan terselubung. Pas gelap-gelap minta pamit. Hehehe.

Meskipun saya sama anak magang nggak satu ruangan, tapi saya sering.. emm.. jarang juga sih.. ya tengah-tengah deh.. godain temen-temen magang. Tujuannya ya biar bisa mencairkan suasana. Sesekali saya coba guyoni pakai hati, biar baper.. wkwkwk

“Dek, udah sholat belum?”

“Belum mas,”

“Mau di imamin nggak?”

“Iya mas boleh.”

“Ya udah cepetan kita kemas-kemas,”

“Lho kok kemas-kemas mas? Bukannya tadi ngajakin solat?”

“Iya, maksudnya itu kita kemas-kemas terus pergi ke KUA. Kan tadi katanya mau diimamin?”

“Huwoooo..!!! tak pentung kamu mas!”

*kabooorr*

Dua anak magang yang berpisah kali ini berasal dari kampus UNS yang katanya kereeenn! *yakin??*. Jurusan yang terpaksa mereka tempuh  adalah psikologi. Menurut saya, jurusan psikologi itu jurusan yang nggak bener. Kok? Iya, mereka itu diajarkan yang nggak bener sama dosennya. Maksudnya? Iya, mereka diajarin cara ngebaca orang.

Bayangkan saudara-saudara sekalian, bila kalian baru dekat, baru kenal, tiba-tiba kalian dibilang sama anak jurusan psikologi dengan julukan “orang pelit!”. Oh my God, hal itu terjadi pada saya.
Jadi ceritanya gini. Selepas jam lima sore, dimana jam kerja sudah over alias selesai, saya iseng main ke tempat anak-anak magang.

“Eh Dek, bisa nggak baca tulisan tangan?”

“Bisa mas!”

“Yakin??”

“Wani piro?”

“Duh kah,,, iki lho mek enek 2.000 gelem ora?”

“Yo wis mas, lumayan gawe numpang adus ndek spbu.”

Habis itu, buru-buru saya langsung ambil selembar kertas dan pena lalu menuliskan surat cinta saya kepada mereka. Hehehe.. Selesai nulis, saya serahkan lembar kertas tersebut kepada mereka. Dan  mereka hanya butuh waktu 2 detik untuk menuduh saya adalah orang ‘PELIT’!

#GLEK!

“Masa sih?”

“Iya, mas Daus orangnya ‘PELIT’.”

“Kalian nggak salah baca atau tafsir gitu? Kali aja pas belajar lagi ngantuk?”

“Enggak kok mas, dari tulisannya mas Daus itu beneran ‘PELIT’”

#OHMYGOD

Saya ulang tiga kali, dan hasilnya tetap sama.

“Mas Daus ‘PELIT’!!!”
“Mas Daus ‘PELIT’!!!”
“Mas Daus ‘PELIT’!!!”

#LANGSUNGPINGSAN tapi bangun lagi pas denger adzan, habis itu ngacir pergi ke musholla.

Tuh kan, bener. Hanya dengan tulisan mereka bisa menjudge seseorang. Ck. Ck. Ck. Padahal saya itu orangnya bukan pelit. #ehminipembelaan. Saya hanya selektif ketika mengeluarkan uang. Mana yang prioritas, mana yang lebih dibutuhkan, disitu uang saya keluar.

Dan yang saya tahu, mereka menyebut saya ‘PELIT’ hanya gara-gara saya nulis huruf ‘g’ mirip angka sembilan. Cuma itu? Iyaa!!! Gara-gara huruf ‘g’ mirip angka sembilan, maka saya jamin kalian akan dituduh orang yang pelit. Oh nooooo… ilmu macam apa ini??

Well, secara keseluruhan saya suka dengan mereka. Meskipun kami akrab seperti temen, namun mereka tetap menjaga norma-norma dalam dunia kerja. Mereka tetap sopan dan santun, meskipun mereka suka ngabisin stock emmi *buka aib*. Hehehe

Ada juga momen ketika saya berkunjung ke kontrakan mereka. Diminta betulin laptop, tapi gratisan. Ditanyain ini itu, ‘ditawarin’ kenalan sama temen mereka juga meskipun pada akhirnya saya tolak secara halus karena suatu hal yang tak akan saya ceritakan disini. Kepanjangan woyy!

At least. Mereka sekarang sudah pulang lagi ke Solo. Tempat yang belum pernah saya kunjungi. Seperti apa Solo itu saya juga tidak peduli. Yang akan saya ingat adalah disana pernah ada dua anak magang yang pernah tersasar di lokasi kerja saya. Selalu ceria, ketawa-tawa, dan rela cuma dibayar sama emmi (makanan favorit mereka selama disana).

Semoga sukses kawan! Tak ada proses yang sia-sia. Semangat selalu! Karena hidup tak semata-mata hanya ujian, tapi juga ada pujian.

Satu lagi.. Jangan lupa nikah! Hehehe

Abaikan orang laki di sebelah kiri. hehehe.. 




Sr. Firdaus Iping
Read More

Senin, 01 Agustus 2016

Dikejar Impian

Tulisan ini merupakan bagian dari project sambung-menyambung tulisan yang saya tulis bersama kak Dian Yuni Pratiwi dan Novie Octavia. Tulisan sebelumnya bisa dilihat di label #ProjectMenulis



Siang itu Zaki, karyawan swasta di salah satu perusahaan yang berada di ibu kota, sedang melangkahkan kakinya menuju dapur. Biasanya setelah istirahat makan siang dia punya jadwal khusus, jadwal untuk membuat kopi hitam mengkilat! Ia tak pernah meminta untuk dibuatkan kopi secara khusus kepada officeboy. Alasannya satu, “Manis!” Pernah suatu kali ia dibuatkan kopi dan rasanya terlalu manis, saking manisnya sampai menyaingi kecantikan resepsionist di lobby depan.

“Tuuuuuuutttt….!” 

Suara panci membahana ke seluruh ruangan dapur. Tanda air yang dimasak sudah matang. Sambil menunggu suhu air panas mendidih itu turun, Zaki mulai meracik kopi khas miliknya. Ia menakar-nakar jumlah kopi yang akan dia pakai. Jika kodisinya mengantuk, ia tambahkan dosisnya agak banyak. Jika kondisinya hanya ingin ‘cuap-cuap’ alias biar mulut nggak cari-cari camilan, takarannya hanya setengah sendok makan.

Saat Zaki sedang asik dengan kopinya, datanglah seorang office boy mendekati dirinya, lalu menyapanya.

“Ngapain, Pak?” sapa office boy itu
“Ini lagi ngulek sambel, Mas.”
“Ehehehe.. bapak bisa aja.”
“Yeee.. lagian udah tau saya lagi bikin kopi malah tanya.”
“Eh, Pak. Saya boleh tanya nggak?”
“Monggo. mau tanya apa?”
“Tapi ini seriusan lho pak. Bapak kan biasanya jawab pake ketawa-tawa gitu”
“Iya,, iya,, hehe,, emang mau tanya apa mas?”
“Pak, gimana ya hukumnya kalo saya sebulan ini belum kasih apa-apa ke istri?” 

Office boy itu umurnya sebelas duabelas dengan Zaki. Hanya selisih setahun lebih tua. Ia sudah memiliki seorang anak dan istri yang sangat ia cintai.

“Maksudnya?” air panas sambil Zaki tuangkan ke dalam cangkir.
“Iya pak, gaji saya sudah sebulan lebih belum turun.” jelasnya office boy itu kemudian
“Eh? Beneran?” jawab Zaki penuh iba. Wajahnya kemudian langsung ia palingkan dari hadapan cangkir kearah office boy itu. Ia tatap betul-betul wajah office boy itu. Dalam hatinya Zaki berkata ‘kasihan’.

Di kantor Zaki tenaga office boy memang diambil dari outsourching. Kejadian ini bukan kali ini saja terjadi, bahkan sudah beberapa kali. Kadang pernah sampai dua bulan gaji belum turun. Jadi ibarat orang kerja sampai keringat bercucuran, kering, keringat lagi, sampe kering lagi, dst sampai mungkin keringatnya nggak bisa keluar lagi tapi upah belum dibayar-bayar. Kasihan kan.
“Iya pak, itu hukumnya gimana ya?”

“Emm, Saya bantu jawab ya.. Saya kan bukan ustad mas. Tapi selama mas nya punya niatan dan berusaha sekuat mungkin mencari nafkah untuk keluarga mas nya, insyaAllah yang seperti ini bisa dibilang ujian buat mas nya.”

“Gitu ya pak?”
“Iya, kalau saya nangkapnya seperti itu mas. Yang sabar ya?” 

Sebenarnya Zaki nggak tega juga ngomong seperti itu. Ingin sekali ia membantunya.

“Bapaknya katanya dulu mau buka usaha, ajak saya ya, Pak?”
“Saya pokoknya mau ikut bapak, disuruh jualan apa aja saya mau deh.”
“Eh? Mas nya serius ngomong gitu?”
“Lah iya pak, serius saya.”
“Saya kan kerjanya kena shift nih, Pak. Kalo malam masuk, saya bisa jualan pagi. Kalo pagi masuk, saya bisa jualan malam.”
“Hmm. gitu ya.”
“Iya pak, buruan dibuka ya pak usahanya”

Zaki terdiam. Kejadian siang itu membuatnya tersedak. Matanya terbelalak. Ia kembali ingat akan impiannya memiliki sebuah rumah makan tradisional terkenal.

***

         Jam menunjukkan pukul 19.00 WIB. Zaki masih di kantor, merapikan beberapa kertas berserakan di atas mejanya. Sambil tangannya bergerak-gerak menyimpan tumpukan-tumpukan kertas pada tempatnya, Zaki berpikir, “Mengapa aku perlu sesibuk ini? Mengapa aku perlu menghabiskan lebih dari setengah hariku hanya untuk mengabdi pada perusahaan? Akankah ini menjadi lebih baik jika aku mengabdikan diri pada jalanku sendiri dengan menjalankan usaha pribadi?” Zaki tidak menemukan jawabannya. Ia pun segera bergegas turun ke lantai dasar dimana motor kesayangannya diparkirkan.      
          
Tanpa diduga, jalanan begitu sepi sehingga Zaki bisa sampai ke kostannya dengan lebih cepat. Ia pun merebahkan diri di kamar kostnya yang sudah hampir 5 tahun ia tinggali. Kamar kecil inilah yang selalu menjadi saksi bisu mimpi-mimpi Zaki, terutama untuk membangun sebuah rumah makan tradisional. Sambil menatap ke arah langit-langit kamar, Zaki larut dalam dialog-dialognya dengan dirinya sendiri, “Mengapa aku begitu tidak beraninya untuk mengambil langkah pertama? Mengapa aku terus menunda? Mengapa aku seperti tidak percaya bahwa pertolongan-Nya akan selalu ada? Mengapa orang lain yang justru lebih percaya kalau mimpiku ini bisa terwujud?”

                Zaki bangkit dari posisi tidurnya dan berjalan menuju meja kerja di ujung kanan. Di atas meja itu terletak sebuah buku lama: buku catatan yang didalamnya ia pernah menuliskan mimpi-mimpinya. Di lembar ke sekian, ia menemukan tulisannya sendiri, ‘MEMILIKI RUMAH MAKAN TRADISIONAL, OKTOBER 2016.”

                Zaki segera mengecek kalender, ternyata sudah bulan Juli. Tepat 3 bulan lagi menuju bulan Oktober, bulan dimana ia pernah berencana untuk mewujudkan mimpinya itu. Zaki pun segera mengambil selembar kertas kosong. Ia mulai menuliskan keperluan-keperluan yang ia butuhkan untuk mewujudkan rumah makan tradisionalnya itu. Segala stragi pasar yang terpikirkannya saat itu pun dituliskannya. Tanpa terasa, Zaki tertidur di atas lantai, di tengah kertas-kertas mimpinya yang berserakan.

***

            Alarm berbunyi nyaring di keheningan malam, Menyadarkan Zaki dari mimpi indahnya. Ia mengusap wajahnya dan segera berwudhu. Ia ingin menemui Sang Pencipta di sepertiga malam yang syahdu.Mengadu sepuasnya. Berdoa agar ia diberi kekuatan dan keyakinan untuk melangkah. Memohon petunjuk agar setiap langkah yang ia pilih selalu berada dalam lindungan dan diridhoiNya. Tak lupa ia pun meminta kelapangan hati agar selalu berhusnudzon apabila segala usahanya kelak menemui rintangan. 

        Setelah  itu, Zaki kemudian menuliskan beberapa kalimat di selembar kertas kosong yang kemudian di tempelkan pada dinding kamar. Kalimat-kalimat yang akan dijadikannya sebagai pengingat. Kalimat pertama yang ia tuliskan berbunyi "lakukan saja apa pun resikonya". Kalimat sederhana namun bagi Zaki, kalimat ini menjadi pengingat agar ia berani melangkah dan tidak terlalu banyak berfikir. Karena terkadang terlalu banyak berfikir menyebabkan ia tak melangkah kemana-mana. Bukankah lebih baik gagal karena mencoba daripada gagal karena tidak pernah mencoba sama sekali. 

         Kalimat kedua yang Zaki tulis berbunyi, "Ada dana dan dukungan inshaAllah impian akan terwujud. Seadainya tidak ada dana dan dukungan, impian juga inshaAllah akan terwujud." Bagi Zaki, kalimat ini sebagai pengingat bahwa apapun kondisinya, impian tetap harus diupayakan. Kalimat ini menjadi pengingat bahwa Allah pasti akan memberikan pertolongan pada hambanya yang berniat baik. 

       Kalimat ketiga adalah nasehat dari Ibn Attailah yang berbunyi "Setinggi-tingginya impian, semaksimal-maksimal usaha tetap tidak akan menggoyahkan takdir Allah." Bagi Zaki, kalimat ini adalah kalimat penyejuk ketika segala usahanya tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Ia yakin bahwa Allah telah mengukur segala sesuatu dengan tepat. Apapun yang terjadi pasti untuk kebaikannya. Tugasnya adalah berusaha, berdoa, dan menyerahkannya hasilnya pada Allah.

         Keesokan harinya, Zaki mulai membuat konsep dan proposal mengenai restoran  yang ingin dirintisnya. Kemudian ia mulai menghubungi beberapa sahabat dan kenalan. Berkali-kali ia silaturahmi kesana kemari. Dan Akhirnya setelah seminggu ia menawarkan proposalnya, seorang kawan lama bersedia bekerja sama. Zaki yang akan menjalankan usaha sedangkan kawannya itu yang akan meminjamkan tempat dengan sistem bagi hasil. 
 


      Zaki sangat bersyukur, kekhwatiran utama tentang tempat telah teratasi. Setelah itu, Zaki mulai mempersiapkan segala sesuatu. Mulai dari merekrut pegawai, mendekor tempat, dan memasarkan restorannya. Tanpa terasa, segala persiapan telah selesai. Zaki kini siap untuk membuka usahanya.    
Read More