Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Desember 2013

Kegeraman si Fili

Pagi ini kopi susunya terasa hambar. Entahlah, apa mungkin kurang gula ataukah lidahnya yang sedang error. Padahal biasanya dia menyeduh kopi dari bungkus sachet-an, yang dijual di toko-toko dengan harga 2000 per tiga bungkus. Harusnya kopi susu sachet-an tersebut sudah manis atau setidaknya manisnya ‘pas’. Tetapi apa daya, kopi sachet telah menjadi kopi cair, mau tidak mau harus diminum meski hambar...
“Slurrp..!”

Fili           : “Uh! Hari ini siapa yang seharusnya piket?”
                 “Perasaan aku terus yang piket?” dia menggerutu sambil terus mencari-cari dimana letak sapu berada.

Brrmm.. brrmm.. der.. der.. der.. ciit!
Gundu datang. Dia baru saja pulang kuliah. Seketika itu dia langsung masuk ke rumah dan melihat Fili sedang menyapu sendirian. Dilihatnya si Fili sekilas, kemudian dia langsung menuju Kamarnya yang terletak di lantai dua.
Fili           : “Ah! Bila terus seperti ini aku yang rugi!”
                  “Masa’ sudah tiga minggu ini aku selalu piket sendirian? Tega sekali mereka!”
                  “Apa mereka tidak peka? Ataukah jangan-jangan mereka ‘sengaja’ lupa bila kita hari ini kebagian jatah piket?”
                  “Lihat saja si Gundu, apakah setelah ini dia akan ikut membantuku ataukah tidak?”
                  “Mudah-mudahan dia peka setelah tadi sempat melirikku sedang piket.”

Lima menit berlalu. Si Fili masih tetap sendiri menyapu lantai atas, tangga, dan sekarang sudah mencapai lantai satu. Dia tetap menggerutu karena tidak ada yang membantu. Pantang baginya meminta bantuan ataupun menyuruh orang lain atau bahkan teman satu jadwalnya selama dia merasa mampu mengerjakan sendiri. Apalagi teman-teman yang berada satu atap dengannya sudah berstatus mahasiswa semua, yang notabene ‘dianggap’ mampu menjadi ‘Agent of Change’. But, reality doesn’t look expectation.

Yang dia gerutukan disini ialah ketidakdisiplinan dan ketiadaan tanggungjawab dari masing-masing individu. Dia pikir, bukankah diawal sudah dibuat perjanjian bilamana semua aturan dibuat untuk kemaslahatan berasama. Satu saja yang melanggar maka akan merusak tatanan kehidupan dalam satu atap, termasuk urusan kebersihan. Buktinya, saat ini si Fili merasa tersakiti dikarenakan ke-acuhan teman-teman satu timnya yang terdiri dari atas tiga orang tersebut.

Si Fili telah selesai menyapu sekaligus mengepel lantai 2 hingga lantai 1. Kini ia melanjutkan kewajibannya membersihkan dapur. Dia tampak menikmati kewajibannya saat mencuci piring-piring dan gelas-gelas yang tidak dibersihkan oleh teman-temannya setelah digunakan, meski dalam hatinya ia masih terus menggerutu.

Tak lama berselang, atau lebih tepatnya disaat si Fili melakukan finishing, salah seorang rekannya datang, yaitu si Kama. Kama yang saat itu sedang menuju dapur langsung tertegun. Dia terdiam saat matanya bertatapan langsung dengan mata si Fili. Namun Fili yang saat itu matanya bertatapan juga dengan Kama langsung memalingkan wajahnya ke arah yang lain seakan-akan tadi tidak sengaja menatap si Kama. Sebenarnya bukan tidak sengaja melihat kemudian memalingkan wajah, akan tetapi maksud si Fili untuk menunjukkan bahwasannya ia tidak suka dengan sikap si Kama.

Hati si Kama merasa malu tidak membantu si Fili, karena memang hari itu si Kama adalah teman satu tim piket si Fili. Oleh karenanya ia langsung berinisiatif membantu si Fili. Dia mengambil tong-tong sampah yang telah terisi penuh, terhitung ada tiga tong sampah di rumah itu, untuk dipindahkannya ke tong sampah depan rumah.

Melihat ada gelagak itu si Fili tetap tidak senang. Meski ‘sedikit’ membantu akan tetapi sikap si Kama di mata si Fili tidak berbekas sedikit pun, seakan-akan apa yang ia perankan tadi hanyalah menjadi polisi-polisi di film-film india.

Fili sebenarnya mengharapkan semuanya hadir dan saling tolong menolong satu sama lain dalam hal kebersihan. Bukan malah tidak hadir layaknya si Gundu dan bukan pula seperti si Kama yang hadir di saat-saat akhir.

Fili pun geram bila ia mendapati teman dalam satu timnya bekerja dengan sesuka hati. Maksudnya, ia geram ketika melihat temannya ‘hanya’ piket menyapu lantai dua. Ya! ‘Hanya’. Padahal jatah yang harus dibersihkan lebih dari itu, seperti menyapu lantai 1 dan 2, mengepel 1 & 2, membersihkan dapur, mencuci piring, merapihkan sandal dan sepatu. Bilamana masing-masing egois hanya melaksanakan satu tugas, maka tugas yang lain siapa yang harus menunaikan? Makannya ia sangat geram sendiri bila ada temannya yang berucap “Aku sudah piket ini!”, “Aku sudah piket itu!”. Ia muak! Menurutnya ini bukan pekerjaan individu, ini pekerjaan tim! Semua harus saling tolong menolong. Bila satu pekerjaan selesai, maka kerjakan pekerjaan yang lain. Inilah yang diaharapkan si Fili. Fili tak ingin disebut pengkhianat, meski ia sendiri kadang dikhianati teman-temannya.


Read More

Minggu, 08 Desember 2013

Maukah Kau Ku Antar ke Sekolah?

Pagi itu, di sisi jalan sudut kota seorang pria memberhentikan sepeda motornya.
Pria : "Mau ke sekolah, mbak?" tanya pria itu sambil tersenyum.
Wanita : "eh, saya?" tanya balik wanita itu sambil menampakkan wajah keheranan.
Pria : "Iya, mbak." jawab pria itu sambil masih tetap tersenyum.
"Mbak mau ke sekolah?"
Wanita : "Eh?" "I.. i.. iya." jawab wanita dengan terbata-bata karena masih keheranan.
Pria : "Mau bareng saya?" tawar pria itu.
Wanita : "Eh? Anda memangnya siapa?" wanita mulai menunjukkan keberaniannya.
Pria : "Hmm,, nanti saya ceritakan di perjalanan." pria itu menjawab dengan ringan.
Wanita : "Wah, maaf saya tidak kenal Anda."
Pria : "Mbak lagi nunggu angkot datang kan?"
Wanita : "Iya." jawab singkat.
Pria : "Mbak sekolahnya dimana?"
Wanita : "Saya di SMA bla bla bla." jawab wanita itu dengan memalingkan wajah cuek.
Pria : "Hmm.. kebetulan itu searah sama jalan pulang saya"
"Mbak mau bareng?" tawar pria itu.
"Saya kira akan lebih cepat daripada harus menunggu angkot datang."
Wanita : "Maaf, menurut saya tidak" tolaknya dengan tegas.
"Lebih baik saya menunggu angkot saja, Mas"
Pria : "Baiklah klo begitu."
"Saya sebenarnya setiap pagi melewati jalan ini." pria itu mulai bercerita
"Saya mengantarkan adik saya pergi ke sekolahnya di SD bla bla bla."
"Setiap kali saya melewati jalan ini, saya selalu mendapati mbak sedang berdiri disini."
"Pikir saya, kenapa tidak saya tawari saja tumpangan kepada mbak."
"Dengan begitu mbak nanti bisa tiba di sekolah lebih cepat."
"Bagaimana? Apakah mbak mau bareng dengan saya?" tawarnya lagi.
"Mbak boleh memegang KTP saya sebagai jaminan hingga tiba disekolah nanti."
Wanita : "Mas serius mau anterin saya?" katanya sedikit takut.
Pria : "Ya! Mumpung satu arah dengan saya." jawab pria itu meyakinkan
Wanita : "Nanti saya jangan diapa-apakan ya di jalan!" tawar wanita itu
Pria : "Ya, saya janji!" jawab ia dengan pasti.
"Baiklah, cepatlah naik, matahari sudah mulai meninggi."
Wanita : "Ya mas, terima kasih."
"Nanti habis jembatan belok kanan ya!" kata wanita itu sambil tersenyum.

*Ups! Mohon maaf kali ini postingannya agak sedikit keluar jalur. Tulisan diatas berdasarkan pengalaman pribadi saya. Maksud saya, yang benar-benar pengalaman saya itu adalah saya memang mendapati seorang wanita remaja setiap pagi di sudut yang sama. Dia sedang menunggu angkutan umum. Dia seorang gadis yang cantik. Inilah yang nyata. Sedangkan percakapan diatas hanyalah hasil imajinasi saya. Dan imajinasi itu hanya akan tercipta apabila saya jauh dari ajaran agama. Maksudnya, saya adalah seorang muslim dan saya harus bisa menjaga hubungan antara lain jenis. Percakapan diatas tidak akan pernah terjadi (mudah-mudahan). Cukup bagi saya melihatnya setiap pagi dan memujanya dalam hati. :')
Read More