Senin, 25 Juli 2016

TAK SEPENDEK AKAL MANUSIA

Tulisan ini merupakan bagian dari project sambung-menyambung tulisan yang saya tulis bersama kak Dian Yuni Pratiwi dan Novie Octavia. Tulisan sebelumnya bisa dilihat di label #ProjectMenulis 


Hujan deras turun di kotaku tepat saat aku hendak melangkah keluar kantor di jam pulang. Alih-alih menunggunya reda, aku tetap memilih untuk pulang karena teringat janjiku pada Ibu untuk membuatkannya makan malam. Aku pun berjalan menuju tempatku menunggu angkot. Rindangnya pepohonan ditambah dengan adanya suara-suara burung dan jangkrik di sepanjang jalan ini membuat aku merasa keluar masuk hutan setiap hari ketika pergi dan pulang kantor. Menyenangkan!

 Angkot yang aku tunggu pun datang. Aku langsung masuk dengan terburu-buru, khawatir derasnya hujan akan semakin membuatku basah kuyup. Di dalam angkot, aku dikejutkan dengan sebuah pemandangan menarik: seorang anak kecil yang sedang ketakutan dan seorang ibu yang memeluknya erat dari samping. Terlihat sekali bahwa anak itu sedang khawatir. Mungkin karena khawatir mainannya yang masih diletakkan di pekarangan kehujanan, atau karena khawatir dimarahi ayahnya karena ia menghilangkan jam tangan barunya, atau karena mengkhawatirkan masa depan. Eh, tunggu! Masa depan? Ah, tentu tidak mungkin anak sekecil itu mengkhawatirkan masa depan! Diam-diam, itu adalah khawatirku yang tak ingin aku ceritakan kepada banyak orang.

Tak lama kemudian, ponselku bergetar, seorang sahabat yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri meneleponku untuk ketiga kalinya di hari ini,

“Assalammualaikum, dek!” sapa sebuah suara di seberang sana.
“Waalaikumsalam. Ada apa, teh?” aku tahu pertanyaanku sangatlah basa-basi karena sebenarnya aku paham apa yang akan ditanyakannya.

“Gimana dek, apakah kamu sudah bersedia untuk berproses dengan temanku itu?”
“Aku sebenarnya tidak keberatan, aku pun telah mengenal ihwan itu dengan baik. Tapi, aku merasa perlu memikirkan ini lebih lanjut dulu.”
“Masih karena alasan ketidaksiapanmu dalam hal finansial?”
“Begitulah, teh ...”
“Baiklah kalau begitu, silahkan dipikirkan dengan bijaksana ya, dek! Ingat, ada Allah yang akan menghapuskan segala khawatirmu.”

Telepon pun terputus, menyisakan aku yang terdiam memandang layar ponsel. Ah! Ini adalah kekhawatiran masa depan yang tak bisa aku ceritakan kepada orang-orang. Bagaimana bisa aku menghkhawatirkan ini? Bukankah takdir Allah tak sependek akalku sebagai manusia?

***

            Tak lama kemudian, tibalah aku di rumahku yang sederhana namun penuh kedamaian. Segera aku mengucapkan salam, mencium tangan ibu, bergegas membersihkan diri, lalu menyiapkan makan malam. Aku tak ingin membuat ibu dan adik semata wayangku menunggu terlalu lama.  Aku ingin segera melihat mereka menikmati masakanku. Dan bagiku melihat mereka berdua menyantap masakanku dengan begitu lahapanya adalah hal yang paling membahagiakan.  Setelah itu kami pun makan malam, diselingi dengan percakapan dan canda tawa yang penuh kehangatan. Tiba-tiba ibu mengagetkanku dengan candaan yang membuatku tersipu,

            “Masakanmu makin lama makin enak, Tar. Udah cocok buat masakin pasangan dan mertua.” Ibu tersenyum lebar menggodaku.
            “Iya Bu. Doain ya, Semoga Tari bisa segera bertemu dengan jodohnya.” Jawabku sambil menunduk malu.
            “Apa tidak ada ikhwan yang sedang berproses denganmu, Tar?” Ibu menatapku sendu, Raut wajahnya berubah menjadi lebih serius.

            Ruangan hening sejenak.

            “Hmm sebetulnya ada, Bu. Temannya Teh Rani tapi Tari ragu. Tari khawatir akan masa depan finansial. Sebetulnya, iya adalah pemuda yang baik agama dan akhlaknya, hanya saja pekerjaannya tidak tetap Bu.”
            “Tari, masih ingat nasehat Ibn Atha`illah yang sering dikatakan Almarhum ayahmu. Ibn Atha`illah menulis dalam kitabnya ‘Istirahatkan dirimu dari mengatur urusanmu karena segala yang telah diurus untukmu oleh Allah SWT tak perlu engkau turut sibuk memikirkannya’. Masih ingatkan Tar dengan nasehat itu?”   
     
            “Iya, Bu.” Jawabku singkat.
           “Allah Maha Kaya, Maha Penyayang, Maha Pengatur, Maha Pemberi Rejeki. Kita tidak perlu terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang sudah diatur oleh-Nya. Ibu ingin menceritakan kisah anak gagak. Tari sudah tahu tentang kisah ini?”
            “Belum, Bu.”

            “Ketika anak gagak baru menetas, belum ada bulu yang tumbuh menutupi tubuhnya. Tubuhnya masih terlihat putih kemerahan. Karena berbeda, sang induk merasa bahwa bayi gagak itu bukanlah anaknya. Sehingga ia tidak memberikan makanan untuk sang bayi. Apakah bayi gagak itu mati kelaparan? Tidak nak. Allah telah mengatur rejeki untuk anak gagak itu. Bayi gagak mengeluarkan suatu cairan dari tubuhnya. Cairan yang dapat mengundang serangga-serangga untuk mendekat. Dan serangga-serangga itulah makanan untuk bayi gagak.” Ibu menatap Tari sendu, “Apa yang Tari bisa pelajari dari kisah ini?”

            “Allah telah mengatur segala sesuatu untuk hambanya, Bahkan untuk rejeki bayi gagak pun telah diatur oleh-Nya. Apalagi tentang urusan manusia, pasti telah diatur dan dijamin oleh Allah, Bu.” Kataku.

            “Nah, akhirnya Tari mengerti. Jadi Tari tak perlu mengkhawatirkan apa-apa yang telah dijamin oleh Allah. Tugas Tari hanyalah berusaha sebaik mungkin, berdoa dan tetap berprasangka baik akan rencanaNya. Kalau menurut Tari, agama dan akhlak ikhwan itu baik, ya sudah berproses saja dengannya. Siapa tahu memang dia orang yang telah dipersiapkan Allah untuk Tari.”

            “Iya, Bu. Tari akan istikharah lagi untuk memantapkan hati."

***


Sebenarnya bukan kali ini saja hatiku bergetar-getar tak karuan. Satu sisi hatiku berkata ‘iya’ satunya lagi berkata ‘tidak’. Sama seperti ketika aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah atau kerja. Suatu keputusan yang sulit. Lanjut kuliah tapi belum ada biaya, sedangkan bila bekerja belum tentu bisa disambi dengan kuliah. Ahh.. keputusan yang sulit.

Disaat momen-momen seperti itulah aku memutuskan untuk istikharah. Meminta petunjuk kepada sang Pemilik Hati. Karena urusan jodoh memang seringkali dikaitkan dengan ‘rahasia Ilahi’ yang mengejutkan. Ada yang baru saja kenal tiba-tiba langsung menikah. Akan tetapi lebih banyak lagi yang sudah lama dekat namun apa dikata akhirnya dipisahkan oleh sekat.

Sejak saat itu, aku mulai memikirkan tawaran teh Rani. Sambil terus berdoa, aku pun mulai mencari-cari tema bacaan tentang pernikahan. Sampai suatu ketika, secara tak sengaja, ketika jam istirahat aku melihat Mutia sedang duduk sambil sesekali tersenyum sendirian di sudut ruangan,

“Hayyyoo!!! Mutia, kamu kenapa ketawa-ketawa sendiri?” tanyaku penasaran.
Eh, Tari.. jadi malu.. hehehe” Mutia langsung buru-buru melepas headset miliknya.
“Kamu lagi nonton apa, Mutia? sepertinya seru sekali!” selidikku pada Mutia
Ah,, enggak kok Tari. Bukan apa-apa.” Sanggah Mutia. Padahal jelas terlihat raut mukanya terlihat malu. Ia berusaha menutup-nutupi layar gadget miliknya.

“Iiihh.. Mutia gitu ya sama aku,,” godaku sambil bermimik muka tanda kecewa.
“Tapi jangan bilang siapa siapa ya, Tari? Pleassee…”
“Emmm,, kira-kira gimana?” Aku terus menggoda Mutia. Sambil memalingkan wajahku dari hadapan Mutia.

“Iya deh.. iya.. tapi jangan bilang siapa-siapa loh ya?” pinta Mutia penuh harap
“Ehehehe… terus-terus gimana? Apa yang tadi Mutia tonton?”
“Sssttt… jangan keras-keras Tari, banyak orang.”

Akhirnya kami mulai menonton, sambil sesekali mata mereka melirik kanan-kiri berharap tidak ada orang yang iseng mendekati mereka.

“Loh Mutia, ini kan ustad yang sekarang lagi naik daun? Kajiannya banyak tersebar dimana-mana.”
“Iya Tari,,, Nah yang sekarang kita tonton ini temanya tentang NIKAH! En,, Iii,, Kaa.. Ahh!” Jawab Mutia penuh semangat membara.
“Hahahaha… pantesan kamu sembunyi-sembunyi gitu nontonya, takut ketahuan ya???” godaku.
“Hehehe.. Tari bisa aja.”
“Memangnya Mutia sudah ada calon?”
“InsyaAllah sudah ada Tari.. tapi ini masih rahasia kita berdua ya”
“Wahhh… selamat! Selamat! Gimana ceritanya?” Aku pun memeluk pundak teman mutia.

“Itu panjang banget Tari, aku juga nggak nyangka.”
“Nggak nyangka gimana?”
“Iya,,, aku itu belum pernah kenal sama sekali dengan dia”
“Serius? Terus apa yang membuatmu yakin dengannya?”
“emm apa yaaaa,,,?”
“Pertama, aku sangat senang dengan niat baik orangnya. Dia langsung menemui orangtuaku, berkenalan dan mengutarakan niatnya untuk menikah”
“Kedua, aku sempat selidiki juga ke beberapa temannya, semua mengatakan ‘dia baik agamanya juga perangainya’.”
“Dua hal itu itu yang membuatku yakin!”
“Sesimpel itu kah?”
“Iya, kan ada hadits yang mengatakan “Jika datang melamar kepadamu orang yang kamu ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dengannya, jika kamu tidak menerimanya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi di bumi dan kerusakan yang luas – HR Tirmidzi”.”
“Iya.. iya… aku pernah tahu itu Mutia.”
Tapi ganteng nggak Mutia?” godaku lagi
“Ya ampun Tariii.. !!” kami berdua pun lalu tertawa dan melanjutkan kembali nonton video kajian di youtube sampai jam istirahat usai.

Lepas itu, Aku semacam mendapatkan pencerahan dari Mutia. Aku jadi bertambah yakin bahwa keraguanlah yang menghambat semuanya, padahal ada Allah yang menjamin masa depan miliknya. Selama itu baik tak perlu ragu, karena ragu bersumber dari tidak tahu.
“Mungkinkah itu jawaban dari doa-doa istikharah ku?”

Segera ku ambil gadget dan mengetik, “Assalamualaikum, Teh,,, Apakah ikhwan itu masih ingin berta’aruf denganku? Jika iya, silahkan bertemu dengan bapak ku di rumah.” Sambil membaca Bismillah dan menghembuskan nafas berat, Tari kirimkan pesan itu.

“SENT”

*) Tari juga sempat menanyakan judul video itu. Judulnya ’Mahkota Pengantin’, video kajian berseri di youtube. Cocok bagi yang belum menikah ataupun sudah menikah.

0 komentar:

Posting Komentar