Tulisan ini merupakan bagian dari project sambung-menyambung tulisan yang saya tulis bersama kak Dian Yuni Pratiwi dan Novie Octavia
Jam tanganku tepat menunjukkan pukul setengah tujuh malam dan aku masih terjebak di jalanan yang padat merayap sejak sejam yang lalu. Terjebak dalam angkutan umum sepi yang hanya ada aku dan seorang pemuda berambut gondrong dengan tato bergambar naga di lengan kanannya. Berkali-kali aku melihat jam tanganku dan jalanan yang tetap saja dipenuhi kendaraan yang berjejer seperti semut. Aku semakin khawatir tidak sempat menunaikan kewajibanku pada Allah. Aku pun gelisah dan curiga pada pemuda dihadapanku ini. Aku takut kalau tiba-tiba ia berniat buruk padaku. Bukankah niat buruk dapat datang pada keadaan yang memberikan kesempatan?
Akhirnya aku memutuskan untuk turun di sekitar perumahan warga, karena aku kira pasti ada masjid disana. Aku berjalan menyusuri jalan perumahan yang sepi dengan penerangan seadannya. Tiba-tiba terdengar langkah seseorang dibelakangku dan ternyata itu adalah pemuda bertato tadi. Dadaku berdebar, aku takut. Aku mempercepat langkahku. Berdoa dalam hati semoga tidak ada kejadian buruk yang akan menimpaku. Tak berapa lama, akhirnya aku melihat sebuah masjid. Aku semakin bergegas agar terhindar dari pemuda itu. Beberapa menit kemudian, akhirnya aku sampai di sebuah Masjid kecil namun indah dan masih ramai dengan para jamaah. Aku merasa lega bisa terbebas dari pemuda itu. Aku segera berwudhu dan melaksanakan sholat Magrib. Setelah itu, aku pun berdoa agar dapat segera tiba di rumah dan terhindar dari niat jahat orang lain. Aku rapikan mukenaku dan bersiap untuk pulang.
Ketika kakiku akan melangkah keluar masjid, mataku menangkap sosok pemuda bertato naga itu. Betapa kagetnya aku ketika melihat ia sedang berdoa dan nampak bahwa ia pun telah menunaikan sholat Magrib. Ia pun kemudian berjalan menuju kelas TPA yang berada di samping Masjid. Hatiku bertanya-tanya untuk apa ia ke kelas itu. Dan aku semakin terkejut ketika mengetahui bahwa ia mengajari para anak di TPA itu untuk membaca Al-quran.
Aku tersadar bahwa aku telah salah menilai. Curiga kalau ia mengikuti untuk berniat jahat padahal ia memang hendak munuju masjid ini. Ah, aku terlalu mudah menilai orang lain hanya karena penampilannya saja. Aku terlalu mudah berprasangka buruk pada orang lain. Semoga Allah mengampuni prasangkaku ini.
Waktu telah menunjukkan pukul 19.00. Tak lama kemudian, aku memutuskan kembali menuju jalan raya. Aku harus segera pulang karena tadi pagi aku telah berjanji kepada ayahku untuk tiba saat petang. Kulewati kembali jalan yang tadi kupakai saat turun dari angkutan umum. Tak jauh, kurang lebih 5 menit aku telah tiba di bibir jalan. Alhamdulillah, angkutan umum langsung hinggap dimana aku berdiri menantinya. Setelah ku masuki angkutan itu ku katakan pada sopir, "Pak, turun di gang sepuluh ya!" seruku.
Selama perjalanan kumanfaatkan waktuku untuk mengulang hafalan. Mulut seperti menguyah namun tak bersuara. Jika lupa, ku buka smartphone milikku, lalu kembali melanjutkan mengunyah hafalan.
"Assalamu'alaikum..!" sapa ku saat memasuki rumah.
Rumahku? Eerrr, bukan. Maksudku rumah milik orang tua ku. Berukuran 90 meter persegi tapi berlantai dua. Dindingnya didominasi warna putih tulang. Didalamnya ada empat kamar. Kamarku berada di lantai atas.
Setelah kulepaskan sepatu, aku bergeges menujukamarku. Tangga menuju lantai dua berada di sisi paling barat di rumah ini. Tangga itu bersebelahan dengan ruang tidur orang tuaku. Saat aku mulai menaiki anak tangga, tak sengaja aku menengok ke arah dalam ruang tidur orang tuaku. Ku lihat disana ayahku sedang bercengkrama dengan ibu. Ayahku sepertinya terlihat serius. Entah aku tak tahu. Badanku terpaku, terdiam sesaat, lalu melanjutkan kembali langkah kaki menuju anak tangga berikutnya.
Tiba di kamar, aku memaksa diri untuk bersuci yang kemudian dilanjutkan Shalat Isya. Aku takut jika sudah terbaring di atas kasur nan empuk malah melenakanku dari kewajiban aku. Maka dari itu selepas menaruh tas, aku langsung menuju kamar kecil untuk mandi dan berwudhu. Tak lupa aku mendoakan kedua orangtuaku saudara, dan teman-teman yang aku cintai. Semoga apa yang diazamkan diijabah oleh Allah.
Selepas Shalat, aku mencoba menebak-nebak apa isi obrolan ayah dan ibuku. Apa yang membuat mereka sampai terlihat serius, sampai-sampai mereka mungkin tidak tahu kedatanganku. Lalu muncullah pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalaku.
"Apakah aku telah berbuat salah?"
"Ataukah ayah dan ibu sedang terlibat permasalahan?"
"Ataukah mereka merencanakan sesuatu"
Ah, entahlah... Badanku hari ini terlalu lelah untuk memikirkan hal itu. Kemudian aku memeluk erat teman tidurku sambil mulut komat-kamit melantunkan doa sebelum tidur, “Bismika Allah......"
***
Keesokan paginya, seperti biasanya, aku terbangun sebelum adzan subuh berkumandang. Seperti jam biologis yang telah teratur dengan presisi, setiap hariku pasti terbangun di jam yang sama. Bedanya, kali ini aku terbangun dengan pikiran yang kacau, aku semakin bertanya-tanya tentang apa yang dibicarakan oleh kedua orang tuaku tadi malam. Ah, aku tak kunjung menemukan jawaban! Aku pun segera bangun dan mengambil air wudhu.
Dini hari seperti ini memang waktu yang sering aku nantikan. Tak ada alasan lain, aku hanya ingin berlama-lama bercerita kepada Rabbku. “Doaku hari ini tak sama dengan yang kemarin, ya Rabb!” bisikku ke dalam hati. Ya, kali ini aku bercerita kisah yang berbeda, pun mengucap doa yang berbeda. “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kesalahan-kesalahan yang tanpa sengaja aku lakukan, juga dari prasangka yang membuatku menduga dan menerka apa-apa yang tak sanggup kupikirkan dengan logika.”
Tanpa sengaja, air mataku pun jatuh susul-menyusul. Hingga aku dikagetkan dengan suara ketukan dari balik pintu. Rupanya Ibu memasuki kamarku.
“Nak, mengapa kamu menangis?”
“Aku salah apa? Mengapa Ayah dan Ibu begitu serius membicarakan aku semalam?”
“Nak, ...” Ibu tersenyum membuatku bingung, “Tak ada yang salah denganmu, Ibu dan Ayah hanya sedang merencanakan hadiah kelulusan untukmu. Kami sudah memesankanmu satu kursi keberangkatan ke Tanah Suci untuk melaksanakan umrah. Bulan depan kamu berangkat ya, Nak!”
Aku terkejut bukan main! Kupeluk Ibu sambil menangis haru di pelukannya. Aku malu pada diriku sendiri. Mengapa aku selalu dengan mudahnya memberikan penilaian buruk kepada orang lain? Bukankah aku harus berhati-hati karena sebagian besar dari prasangka itu dosa? Allah, ampunilah dosaku.
0 komentar:
Posting Komentar