Siang itu Zaki, karyawan swasta di salah satu perusahaan
yang berada di ibu kota, sedang melangkahkan kakinya menuju dapur. Biasanya
setelah istirahat makan siang dia punya jadwal khusus, jadwal untuk membuat
kopi hitam mengkilat! Ia tak pernah meminta untuk dibuatkan kopi secara khusus
kepada officeboy. Alasannya satu, “Manis!” Pernah suatu kali ia
dibuatkan kopi dan rasanya terlalu manis, saking manisnya sampai menyaingi
kecantikan resepsionist di lobby depan.
“Tuuuuuuutttt….!”
Suara panci membahana ke seluruh ruangan dapur. Tanda
air yang dimasak sudah matang. Sambil menunggu suhu air panas mendidih itu
turun, Zaki mulai meracik kopi khas miliknya. Ia menakar-nakar jumlah kopi yang
akan dia pakai. Jika kodisinya mengantuk, ia tambahkan dosisnya agak banyak.
Jika kondisinya hanya ingin ‘cuap-cuap’ alias biar mulut nggak cari-cari
camilan, takarannya hanya setengah sendok makan.
Saat Zaki sedang asik dengan kopinya, datanglah seorang office boy mendekati dirinya, lalu menyapanya.
“Ngapain, Pak?” sapa office boy itu
“Ini lagi ngulek sambel,
Mas.”
“Ehehehe.. bapak bisa aja.”
“Yeee.. lagian udah tau
saya lagi bikin kopi malah tanya.”
“Eh, Pak. Saya boleh tanya
nggak?”
“Monggo. mau tanya apa?”
“Tapi ini seriusan lho pak.
Bapak kan biasanya jawab pake ketawa-tawa gitu”
“Iya,, iya,, hehe,, emang
mau tanya apa mas?”
“Pak, gimana ya hukumnya
kalo saya sebulan ini belum kasih apa-apa ke istri?”
Office boy itu umurnya sebelas duabelas dengan Zaki. Hanya selisih setahun
lebih tua. Ia sudah memiliki seorang anak dan istri yang sangat ia cintai.
“Maksudnya?” air panas sambil Zaki tuangkan ke dalam cangkir.
“Iya pak, gaji saya sudah
sebulan lebih belum turun.” jelasnya office boy itu
kemudian
“Eh? Beneran?” jawab Zaki penuh iba. Wajahnya kemudian langsung ia palingkan dari
hadapan cangkir kearah office boy itu. Ia tatap betul-betul wajah office boy itu. Dalam
hatinya Zaki berkata ‘kasihan’.
Di kantor Zaki tenaga office boy memang diambil
dari outsourching. Kejadian ini bukan kali ini saja terjadi, bahkan sudah
beberapa kali. Kadang pernah sampai dua bulan gaji belum turun. Jadi ibarat
orang kerja sampai keringat bercucuran, kering, keringat lagi, sampe kering
lagi, dst sampai mungkin keringatnya nggak bisa keluar lagi tapi upah belum
dibayar-bayar. Kasihan kan.
“Iya pak, itu hukumnya
gimana ya?”
“Emm, Saya bantu jawab ya..
Saya kan bukan ustad mas. Tapi selama mas nya punya niatan dan berusaha sekuat
mungkin mencari nafkah untuk keluarga mas nya, insyaAllah yang seperti ini bisa
dibilang ujian buat mas nya.”
“Gitu ya pak?”
“Iya, kalau saya nangkapnya
seperti itu mas. Yang sabar ya?”
Sebenarnya Zaki nggak tega juga ngomong seperti itu. Ingin sekali ia
membantunya.
“Bapaknya katanya dulu mau
buka usaha, ajak saya ya, Pak?”
“Saya pokoknya mau ikut
bapak, disuruh jualan apa aja saya mau deh.”
“Eh? Mas nya serius ngomong
gitu?”
“Lah iya pak, serius saya.”
“Saya kan kerjanya kena
shift nih, Pak. Kalo malam masuk, saya bisa jualan pagi. Kalo pagi masuk, saya
bisa jualan malam.”
“Hmm. gitu ya.”
“Iya pak, buruan dibuka ya pak
usahanya”
Zaki terdiam. Kejadian siang itu membuatnya tersedak.
Matanya terbelalak. Ia kembali ingat akan impiannya memiliki sebuah rumah makan
tradisional terkenal.
***
Jam
menunjukkan pukul 19.00 WIB. Zaki masih di kantor, merapikan beberapa kertas
berserakan di atas mejanya. Sambil tangannya bergerak-gerak menyimpan
tumpukan-tumpukan kertas pada tempatnya, Zaki berpikir, “Mengapa aku perlu sesibuk ini? Mengapa aku perlu menghabiskan lebih
dari setengah hariku hanya untuk mengabdi pada perusahaan? Akankah ini menjadi
lebih baik jika aku mengabdikan diri pada jalanku sendiri dengan menjalankan
usaha pribadi?” Zaki tidak menemukan jawabannya. Ia pun segera bergegas
turun ke lantai dasar dimana motor kesayangannya diparkirkan.
Tanpa diduga, jalanan begitu sepi
sehingga Zaki bisa sampai ke kostannya dengan lebih cepat. Ia pun merebahkan
diri di kamar kostnya yang sudah hampir 5 tahun ia tinggali. Kamar kecil inilah
yang selalu menjadi saksi bisu mimpi-mimpi Zaki, terutama untuk membangun
sebuah rumah makan tradisional. Sambil menatap ke arah langit-langit kamar,
Zaki larut dalam dialog-dialognya dengan dirinya sendiri, “Mengapa aku begitu tidak beraninya untuk mengambil langkah pertama?
Mengapa aku terus menunda? Mengapa aku seperti tidak percaya bahwa
pertolongan-Nya akan selalu ada? Mengapa orang lain yang justru lebih percaya
kalau mimpiku ini bisa terwujud?”
Zaki
bangkit dari posisi tidurnya dan berjalan menuju meja kerja di ujung kanan. Di
atas meja itu terletak sebuah buku lama: buku catatan yang didalamnya ia pernah
menuliskan mimpi-mimpinya. Di lembar ke sekian, ia menemukan tulisannya
sendiri, ‘MEMILIKI RUMAH MAKAN TRADISIONAL, OKTOBER 2016.”
Zaki
segera mengecek kalender, ternyata sudah bulan Juli. Tepat 3 bulan lagi menuju
bulan Oktober, bulan dimana ia pernah berencana untuk mewujudkan mimpinya itu.
Zaki pun segera mengambil selembar kertas kosong. Ia mulai menuliskan
keperluan-keperluan yang ia butuhkan untuk mewujudkan rumah makan
tradisionalnya itu. Segala stragi pasar yang terpikirkannya saat itu pun
dituliskannya. Tanpa terasa, Zaki tertidur di atas lantai, di tengah
kertas-kertas mimpinya yang berserakan.
***
Alarm berbunyi nyaring di keheningan malam, Menyadarkan Zaki dari mimpi
indahnya. Ia mengusap wajahnya dan segera berwudhu. Ia ingin menemui Sang
Pencipta di sepertiga malam yang syahdu.Mengadu sepuasnya. Berdoa agar ia
diberi kekuatan dan keyakinan untuk melangkah. Memohon petunjuk agar setiap
langkah yang ia pilih selalu berada dalam lindungan dan diridhoiNya. Tak lupa
ia pun meminta kelapangan hati agar selalu berhusnudzon apabila segala usahanya
kelak menemui rintangan.
Setelah itu, Zaki kemudian
menuliskan beberapa kalimat di selembar kertas kosong yang kemudian di
tempelkan pada dinding kamar. Kalimat-kalimat yang akan dijadikannya sebagai
pengingat. Kalimat pertama yang ia tuliskan berbunyi "lakukan saja apa pun
resikonya". Kalimat sederhana namun bagi Zaki, kalimat ini menjadi pengingat
agar ia berani melangkah dan tidak terlalu banyak berfikir. Karena terkadang
terlalu banyak berfikir menyebabkan ia tak melangkah kemana-mana. Bukankah
lebih baik gagal karena mencoba daripada gagal karena tidak pernah mencoba sama
sekali.
Kalimat kedua yang Zaki tulis berbunyi, "Ada dana dan dukungan
inshaAllah impian akan terwujud. Seadainya tidak ada dana dan dukungan, impian
juga inshaAllah akan terwujud." Bagi Zaki, kalimat ini sebagai pengingat
bahwa apapun kondisinya, impian tetap harus diupayakan. Kalimat ini menjadi
pengingat bahwa Allah pasti akan memberikan pertolongan pada hambanya yang
berniat baik.
Kalimat ketiga adalah nasehat dari Ibn Attailah yang berbunyi
"Setinggi-tingginya impian, semaksimal-maksimal usaha tetap tidak akan
menggoyahkan takdir Allah." Bagi Zaki, kalimat ini adalah kalimat penyejuk
ketika segala usahanya tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Ia yakin bahwa
Allah telah mengukur segala sesuatu dengan tepat. Apapun yang terjadi pasti
untuk kebaikannya. Tugasnya adalah berusaha, berdoa, dan menyerahkannya
hasilnya pada Allah.
Keesokan harinya, Zaki mulai membuat konsep dan proposal mengenai
restoran yang ingin dirintisnya.
Kemudian ia mulai menghubungi beberapa sahabat dan kenalan. Berkali-kali ia
silaturahmi kesana kemari. Dan Akhirnya setelah seminggu ia menawarkan
proposalnya, seorang kawan lama bersedia bekerja sama. Zaki yang akan
menjalankan usaha sedangkan kawannya itu yang akan meminjamkan tempat dengan
sistem bagi hasil.
Zaki
sangat bersyukur, kekhwatiran utama tentang tempat telah teratasi. Setelah itu, Zaki mulai mempersiapkan segala sesuatu. Mulai dari merekrut pegawai, mendekor
tempat, dan memasarkan restorannya. Tanpa terasa, segala persiapan telah
selesai. Zaki kini siap untuk membuka usahanya.