“Kamu lagi kenapa sih?” Ada yang salah dengan sikapku?”
Dua pertayaan darimu. Well, aku beritahu rahasia kecil. Perempuan kadang butuh pertanyaan pancingan untuk memulai, untuk menceritakan dan terus terang tentang apa yang dirasakannya. Tak ada makhluk yang lebih pintar dalam hal memendam rasa selain perempuan. Jadi, untuk kalian para lelaki, jangan bersikap bodoh dengan menunggu sambil berharap perempuan yang memulai terlebih dahulu. Terutama dalam hal perasaan. Itu karena perempuan dilindungi Tuhan dengan rasa malu. Dan kali ini, umpanmu sangat tepat!
“Banyak.” Jawabku sambil cemberut, dan kamu tersenyum tanpa dosa.
“Kenapa?” Lagi-lagi pertanyaanmu sangat tepat, dan meluncurlah semua yang sedang kurasakan terhadap kamu. Kamu hanya diam mendengarkan, sudah cukup berpengalaman menghadapiku kalau sedang begini.
“Maaf sih.” Jawabmu singkat setelah aku puas mengungkapkan semuanya, setelah aku terdiam kehabisan kata-kata. Enak ya, hanya tinggal minta maaf saja. Nggak semua kesalahan bisa selesai dengan kata maaf tahu! Aku diam tak menanggapi, sampai kata-katamu selanjutnya.
“Aku begitu, karena aku pikir kamu sudah mengerti aku. Kalau kita sudah mengerti, kita tidak perlu tahu semuanya, bukan? Sebagaimana aku yang tak terlalu memaksakan diri untuk mengetahui semua tentang kamu. Toh, lama-lama juga akan tahu dengan sendirinya, kan? Kalau akunya sudah mengerti kamu, aku akan menerima apapun tentang kamu, walaupun itu adalah hal yang belum aku ketahui, atau baru aku ketahui nanti-nanti. Sebaliknya, kalau kita belum mengerti, sebanyak apapun yang kita ketahui tentang orang lain, belum tentu kita bisa menerimanya. Dan menurutku, mengerti dan menerima itu yang jauh lebih penting dari sekedar tahu.”
“..”
“Tapi, kalau kamu bilang aku belum ngertiin kamu dengan cara begitu, kamu benar. Karena yang menilai dan menentukan apakah aku ngertiin kamu apa nggak itu ya kamu. Bukan aku. Walaupun aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk ngertiin kamu.”
“..”
“Iya deh, aku akan berusaha lebih keras lagi untuk mengerti kamu. Kalau memang kamu harus tahu, kamu tinggal bertanya apa yang perlu kamu ketahui dariku. Tapi coba deh pikirin lagi, kalau mengerti harus diminta, namanya bukan pengertian lagi, bukan? Tapi tuntutan. Dan sekecil apapun sebuah tuntutan, akan menjadi beban untuk yang menuntut dan dituntut. Aku tak mau kita saling membebani. Aku berharap kita bisa saling mengerti. Tapi mengerti dengan alami. Bukan karena keharusan, bukan juga karena tuntutan. Dan untuk itu, kita butuh waktu. Kita butuh proses. Kita butuh saling terbuka. Semoga kita bisa ya.”
“..”
“Kalau kita sudah bebar-benar saling ngerti, harusnya tak ada yang perlu mengalah. Karena memang tak perlu ada yang menang ataupun kalah. Ya, mengerti saja. Tahu menempatkan diri. Toh kita saling melengkapi juga memiliki, bukan? Apa yang baik buat kamu, harusnya aku ikut bahagia. Begitu juga sebaliknya. Jadi bukan mengalah, tapi saling membantu. Dan saling membantu akan membuat kita lebih kuat. Bukannya lelah.”
“..”
***
Kamu ituh ya, memang penuh kejutan. Sedari tadi aku cuma diam meresapi kata-katamu itu. And I got the point, bahwa menuntut orang lain buat ngertin kita itu tanda kalau kita belum ngertiin dia. Dan itu aku banget. Aduh, jadi malu. Gimana dong? Ada yang tahu caranya menghilang seketika, nggak? Atau ada yang punya nomor teleponnya Doraemon? Mau pinjam pintu ajaibnya. Anybody help me, please!
Ya udah deh, kalau nggak ada. Sembunyi di pelukan kamu aja.
***Ketika Aku dan Kamu Menjadi Kita***
0 komentar:
Posting Komentar