Kalian pernah nggak waktu kecil dulu, TK, SD, SMP, atau SMA dianterin sama ayah atau ibu? Saya yakin pasti pernah :) Karena pada saat itulah momen-momen yang paling ditunggu saat baru keluar dari kelas. Dimana ayah? Kok lama ya? Asiik ayah sudah dateng! pulang dulu ya temen-temen.. seperti itulah kira-kira perasaan saat kita menanti jemputan ayah kita. #mengenang
Sekarang saya sudah besar. Mahasiswa yang sudah malu bila diantar jemput orangtuanya. Lebih tepatnya bukan malu, akan tetapi kampus saya berjarak 200 km dari rumah orangtua. Sangat tidak mungkin sekali saya diantar jemput seperti dahulu kala. Disamping itu #alhamdulillah saya sudah dipegangi sepeda motor semenjak semester 5 kemarin. Well, pada akhirnya terakhir saya diantar jemput oleh ayah saya terakhir sekitar kelas 6 SD, atau lebih tepatnya 10 tahun yang lalu.
Berlatar cerita antar jemput tersebut, saya memiliki cerita yang menarik yang mungkin sedikit sekali dari kebanyakan mahasiswa di negara saya yang melakukannya. Penasaran?
Yap! saya menjadi 'Ayah Prematur'.
What? prematur?
Iya.. tapi bukan ayah karena proses 'kecelekaan', atau maksudnya bukan jadi ayah karena menghamili perempuan yang belum mahrumnya.
Istilah ayah prematur itu saya gunakan ketika saya telah merasakan sendiri yang mungkin hampir mirip perasaan orangtua kita saat mengantar dan menjemput kita. Atau mungkin lebih gampangnya, disela-sela kegiatan kuliah, saya memiliki profesi sebagai tukang antar jemput. Mengantar dan menjemput anak orang lain (saya masih single.. he).
Mengapa diawal saya menyebut ayah prematur. Ini ada kaitannya dengan profesi saya sebagai tukang antar jemput. Saya pribadi merasa ketika mengantar anak tersebut, saya berada pada posisi seorang ayah (meski pada kenyataannya bukan ayah anak tersebut).
Ketika anak kecil tersebut memeluk berpegangan pada pinggang saya, saya bernostalgia kembali ke masa anak-anak dulu. Oh ternyata seperti ini perasaan ayah ketika dipeluk oleh anaknya. Tenang dan damai. Ayah akan berprinsip, anak ini harus sampai tiba di sekolah dengan aman dan nyaman. Ya, kira-kira seperti itulah mungkin perasaan seorang ayah ketika mengantarkan anaknya dan saya mengalaminya sendiri.
Dari situ saya belajar banyak. Ternyata selama ini ayah saya yang telah mengantarkan saya, kakak saya, adik-adik saya ketika TK hingga SD telah melakukan banyak sekali pengorbanan. Dengan sabar dan penuh rasa tanggungjawab, seorang ayah ingin sekali anaknya menjadi seorang yang benar-benar bisa berguna bagi agama dan keluarganya. Tak berkurang sedikit pun rasa cinta yang mendalam untuk anak-anakanya. Apalagi ketika sudah tiba disekolah, sang ayah selalu menitipkan doa pada kita saat bersalaman 'Belajar yang baik ya, Nak!' sambil mengusap kepala kita.
Tak pantaslah apabila saya durhaka padanya. Tak pantas pula bila saya menghardik atau bahkan lebih parah melukai hati seorang ayah. Karena pengorbanan yang telah diberikan tak sebanding dengan balasan yang mungkin belum pernah saya lakukan. Mudah-mudahan ayah saya diberikan balasan yang setimpal di akhirat kelak. Amin
Pada akhirnya, saya beruntung sekali bisa menjadi ayah prematur. Banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan disini. Dan ini menjadi modal berharga kelak saat memiliki keturunan.
***tambahan***
Start Agustus 2012 hingga tulisan ini diturunkan masih berstatus Mahasiswa si Tukang Antar Jemput :)
0 komentar:
Posting Komentar