Jumat, 23 September 2016

Curhat Jam Kerja

If you know, kerja disini itu tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Dulu, waktu masih kuliah mikirnya kerja kantoran itu enak, santai, duit banyak. Berangkat pagi pulang sore. Nggak kena shift. Pagi pamit sama keluarga, sore disambut senyum bahagia. Karena pulang sore, maka bisa ini bisa itu. Misal, punya bisnis sampingan, bisa di handle setelah pulang kerja sampai jam 8 malam. Ngehandle dari rumah aja, kan bisnis online. Bisa ngajarin anak istri ngaji. Bantuin anak ngerjakan pr, jadi nggak panggil-panggil guru private. Bantu-bantu istri menyelesaikan pekerjaan rumah, jadi nggak perlu panggil pembantu rumah tangga. Well, itu angan-angan ketika dulu masih kuliah.

Sekarang apa mau dikata. Kenyataan tak sesuai dengan harapan. Mungkin terlalu berharap jadinya ya kecewa. Tapi tak apa, namanya garis takdir tak ada yang tahu. Kita hanya bisa memperbarui apa yang perlu diperbarui dan memperbaiki apa yang perlu diperbaiki.

Saya, meskipun secara jadwal kerja bekerja 8 jam perhari, namun kenyataannya lebih dari itu. Jadwal kerja dimulai dari jam 8 hingga jam 5 sore dengan 1 jam istirahat. Saya selalu masuk sebelum jam kerja. Biasanya setengah jam sebelumnya saya sudah standby di meja kerja. Kenapa nggak on time aja datengnya? Karena saya tipe orang yang sangat menghargai waktu (*tssaahh). Sengaja spare setengah jam untuk menutupi kekurangan jam kerja. Misal, selama bekerja nanti kan pasti ada jalan ke toilet, ke dapur bikin kopi, atau mungkin kepotong solat ashar selama 15 menit. Semua itu kan motong delapan jam tadi. Jadi ya, saya berusaha agar delapan jam kerja itu kalo dihitung benar-benar bekerja. Nggak kepotong ini itu. Jadi pas. Gaji yang saya terima ya pas. Nggak korupsi. hehehe

Kalo dirata-rata perhari saya berada di kantor selama 11-12 jam. So, saya menghabiskan waktu hampir setengah hari di kantor. Itu artinya saya menghabiskan setangah hidup saya di kantor. Dan itu salah satu alasan terbesar yang menyebabkan saya yang hingga kini hidup menjomblo.. lho? hahahaha


By the way saya lanjutkan nanti.. mau pulang dulu.
Read More

Kamis, 08 September 2016

Kamu Kenapa?

“Kamu lagi kenapa sih?” Ada yang salah dengan sikapku?”

Dua pertayaan darimu. Well, aku beritahu rahasia kecil. Perempuan kadang butuh pertanyaan pancingan untuk memulai, untuk menceritakan dan terus terang tentang apa yang dirasakannya. Tak ada makhluk yang lebih pintar dalam hal memendam rasa selain perempuan. Jadi, untuk kalian para lelaki, jangan bersikap bodoh dengan menunggu sambil berharap perempuan yang memulai terlebih dahulu. Terutama dalam hal perasaan. Itu karena perempuan dilindungi Tuhan dengan rasa malu. Dan kali ini, umpanmu sangat tepat!

“Banyak.” Jawabku sambil cemberut, dan kamu tersenyum tanpa dosa.

“Kenapa?” Lagi-lagi pertanyaanmu sangat tepat, dan meluncurlah semua yang sedang kurasakan terhadap kamu. Kamu hanya diam mendengarkan, sudah cukup berpengalaman menghadapiku kalau sedang begini.

“Maaf sih.” Jawabmu singkat setelah aku puas mengungkapkan semuanya, setelah aku terdiam kehabisan kata-kata. Enak ya, hanya tinggal minta maaf saja. Nggak semua kesalahan bisa selesai dengan kata maaf tahu! Aku diam tak menanggapi, sampai kata-katamu selanjutnya.

“Aku begitu, karena aku pikir kamu sudah mengerti aku. Kalau kita sudah mengerti, kita tidak perlu tahu semuanya, bukan? Sebagaimana aku yang tak terlalu memaksakan diri untuk mengetahui semua tentang kamu. Toh, lama-lama juga akan tahu dengan sendirinya, kan? Kalau akunya sudah mengerti kamu, aku akan menerima apapun tentang kamu, walaupun itu adalah hal yang belum aku ketahui, atau baru aku ketahui nanti-nanti. Sebaliknya, kalau kita belum mengerti, sebanyak apapun yang kita ketahui tentang orang lain, belum tentu kita bisa menerimanya. Dan menurutku, mengerti dan menerima itu yang jauh lebih penting dari sekedar tahu.”

“..”

“Tapi, kalau kamu bilang aku belum ngertiin kamu dengan cara begitu, kamu benar. Karena yang menilai dan menentukan apakah aku ngertiin kamu apa nggak itu ya kamu. Bukan aku. Walaupun aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk ngertiin kamu.”

“..”

“Iya deh, aku akan berusaha lebih keras lagi untuk mengerti kamu. Kalau memang kamu harus tahu, kamu tinggal bertanya apa yang perlu kamu ketahui dariku. Tapi coba deh pikirin lagi, kalau mengerti harus diminta, namanya bukan pengertian lagi, bukan? Tapi tuntutan. Dan sekecil apapun sebuah tuntutan, akan menjadi beban untuk yang menuntut dan dituntut. Aku tak mau kita saling membebani. Aku berharap kita bisa saling mengerti. Tapi mengerti dengan alami. Bukan karena keharusan, bukan juga karena tuntutan. Dan untuk itu, kita butuh waktu. Kita butuh proses. Kita butuh saling terbuka. Semoga kita bisa ya.”

“..”

“Kalau kita sudah bebar-benar saling ngerti, harusnya tak ada yang perlu mengalah. Karena memang tak perlu ada yang menang ataupun kalah. Ya, mengerti saja. Tahu menempatkan diri. Toh kita saling melengkapi juga memiliki, bukan? Apa yang baik buat kamu, harusnya aku ikut bahagia. Begitu juga sebaliknya. Jadi bukan mengalah, tapi saling membantu. Dan saling membantu akan membuat kita lebih kuat. Bukannya lelah.”

“..”

***
Kamu ituh ya, memang penuh kejutan. Sedari tadi aku cuma diam meresapi kata-katamu itu. And I got the point, bahwa menuntut orang lain buat ngertin kita itu tanda kalau kita belum ngertiin dia. Dan itu aku banget. Aduh, jadi malu. Gimana dong? Ada yang tahu caranya menghilang seketika, nggak? Atau ada yang punya nomor teleponnya Doraemon? Mau pinjam pintu ajaibnya. Anybody help me, please!

Ya udah deh, kalau nggak ada. Sembunyi di pelukan kamu aja.


***Ketika Aku dan Kamu Menjadi Kita***
Read More

Jumat, 02 September 2016

Siapapun Kamu

Adalah tunggu, ruang yang selama ini tertata rapi di hatiku, menanti kehadiran sosokmu yang entah akan seperti apa. Awalnya, aku kira, menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Namun seiring berjalannya waktu, aku baru mengerti bahwa menunggu adalah salah satu kebijaksanaan yang diajarkan Tuhan. Iya, Tuhan selalu lebih tahu waktu yang paling tepat, bukan? Kita hanya harus menunggu sampai waktu yang tepat itu tiba. Entah berapa ratus, ribu, atau bahkan jutaan detik lagi. Entah di bilangan hari, bulan dan tahun keberapa. Tapi saat itu pasti akan datang. Seperti ketetapan-Nya yang tak pernah salah.

-Ketika Aku dan Kamu Menjadi Kita-
Read More

Minggu, 14 Agustus 2016

Anak Magang

Kemarin, tepatnya hari Jum’at, 12 Agustus 2016, saya kembali harus melepas kepergian rekan-rekan magang. Selama dua tahun bekerja, sudah beberapa kali saya menerima kedatangan rekan-rekan magang dari kampus yang sebulan kemudian biasanya selesai lalu pulang.

Kali ini rekan-rekan magang yang kebetulan (atau terpaksa ya? Haha) ditempatkan di lokasi bekerja saya, harus pulang kembali ke kampus mereka. Sedih? Enggak sih.. Cuma ya gimana gitu. Wong seumuran (*ngarep), udah kadung deket. Terus manggilnya cuma mas sama adek, nggak ada pak pak-an. Contoh:

”Dek, abang malam ini telat pulang ya?”

“Loh? Sejak kapan mas aku nikah sama kamu?”

Ehehehe.. salah.. Ya maksudnya kita saling sapa sudah seperti temen. Nggak pake resmi-resmian. Secara, saya sebenarnya risih juga klo dipanggil ‘bapak’. Apalagi klo tahu umurnya nggak beda jauh. Kayaknya udah tua banget gitu . Jadi ketika mereka pamit pulang, jadi semacam acara perpisahaan terselubung. Pas gelap-gelap minta pamit. Hehehe.

Meskipun saya sama anak magang nggak satu ruangan, tapi saya sering.. emm.. jarang juga sih.. ya tengah-tengah deh.. godain temen-temen magang. Tujuannya ya biar bisa mencairkan suasana. Sesekali saya coba guyoni pakai hati, biar baper.. wkwkwk

“Dek, udah sholat belum?”

“Belum mas,”

“Mau di imamin nggak?”

“Iya mas boleh.”

“Ya udah cepetan kita kemas-kemas,”

“Lho kok kemas-kemas mas? Bukannya tadi ngajakin solat?”

“Iya, maksudnya itu kita kemas-kemas terus pergi ke KUA. Kan tadi katanya mau diimamin?”

“Huwoooo..!!! tak pentung kamu mas!”

*kabooorr*

Dua anak magang yang berpisah kali ini berasal dari kampus UNS yang katanya kereeenn! *yakin??*. Jurusan yang terpaksa mereka tempuh  adalah psikologi. Menurut saya, jurusan psikologi itu jurusan yang nggak bener. Kok? Iya, mereka itu diajarkan yang nggak bener sama dosennya. Maksudnya? Iya, mereka diajarin cara ngebaca orang.

Bayangkan saudara-saudara sekalian, bila kalian baru dekat, baru kenal, tiba-tiba kalian dibilang sama anak jurusan psikologi dengan julukan “orang pelit!”. Oh my God, hal itu terjadi pada saya.
Jadi ceritanya gini. Selepas jam lima sore, dimana jam kerja sudah over alias selesai, saya iseng main ke tempat anak-anak magang.

“Eh Dek, bisa nggak baca tulisan tangan?”

“Bisa mas!”

“Yakin??”

“Wani piro?”

“Duh kah,,, iki lho mek enek 2.000 gelem ora?”

“Yo wis mas, lumayan gawe numpang adus ndek spbu.”

Habis itu, buru-buru saya langsung ambil selembar kertas dan pena lalu menuliskan surat cinta saya kepada mereka. Hehehe.. Selesai nulis, saya serahkan lembar kertas tersebut kepada mereka. Dan  mereka hanya butuh waktu 2 detik untuk menuduh saya adalah orang ‘PELIT’!

#GLEK!

“Masa sih?”

“Iya, mas Daus orangnya ‘PELIT’.”

“Kalian nggak salah baca atau tafsir gitu? Kali aja pas belajar lagi ngantuk?”

“Enggak kok mas, dari tulisannya mas Daus itu beneran ‘PELIT’”

#OHMYGOD

Saya ulang tiga kali, dan hasilnya tetap sama.

“Mas Daus ‘PELIT’!!!”
“Mas Daus ‘PELIT’!!!”
“Mas Daus ‘PELIT’!!!”

#LANGSUNGPINGSAN tapi bangun lagi pas denger adzan, habis itu ngacir pergi ke musholla.

Tuh kan, bener. Hanya dengan tulisan mereka bisa menjudge seseorang. Ck. Ck. Ck. Padahal saya itu orangnya bukan pelit. #ehminipembelaan. Saya hanya selektif ketika mengeluarkan uang. Mana yang prioritas, mana yang lebih dibutuhkan, disitu uang saya keluar.

Dan yang saya tahu, mereka menyebut saya ‘PELIT’ hanya gara-gara saya nulis huruf ‘g’ mirip angka sembilan. Cuma itu? Iyaa!!! Gara-gara huruf ‘g’ mirip angka sembilan, maka saya jamin kalian akan dituduh orang yang pelit. Oh nooooo… ilmu macam apa ini??

Well, secara keseluruhan saya suka dengan mereka. Meskipun kami akrab seperti temen, namun mereka tetap menjaga norma-norma dalam dunia kerja. Mereka tetap sopan dan santun, meskipun mereka suka ngabisin stock emmi *buka aib*. Hehehe

Ada juga momen ketika saya berkunjung ke kontrakan mereka. Diminta betulin laptop, tapi gratisan. Ditanyain ini itu, ‘ditawarin’ kenalan sama temen mereka juga meskipun pada akhirnya saya tolak secara halus karena suatu hal yang tak akan saya ceritakan disini. Kepanjangan woyy!

At least. Mereka sekarang sudah pulang lagi ke Solo. Tempat yang belum pernah saya kunjungi. Seperti apa Solo itu saya juga tidak peduli. Yang akan saya ingat adalah disana pernah ada dua anak magang yang pernah tersasar di lokasi kerja saya. Selalu ceria, ketawa-tawa, dan rela cuma dibayar sama emmi (makanan favorit mereka selama disana).

Semoga sukses kawan! Tak ada proses yang sia-sia. Semangat selalu! Karena hidup tak semata-mata hanya ujian, tapi juga ada pujian.

Satu lagi.. Jangan lupa nikah! Hehehe

Abaikan orang laki di sebelah kiri. hehehe.. 




Sr. Firdaus Iping
Read More

Senin, 01 Agustus 2016

Dikejar Impian

Tulisan ini merupakan bagian dari project sambung-menyambung tulisan yang saya tulis bersama kak Dian Yuni Pratiwi dan Novie Octavia. Tulisan sebelumnya bisa dilihat di label #ProjectMenulis



Siang itu Zaki, karyawan swasta di salah satu perusahaan yang berada di ibu kota, sedang melangkahkan kakinya menuju dapur. Biasanya setelah istirahat makan siang dia punya jadwal khusus, jadwal untuk membuat kopi hitam mengkilat! Ia tak pernah meminta untuk dibuatkan kopi secara khusus kepada officeboy. Alasannya satu, “Manis!” Pernah suatu kali ia dibuatkan kopi dan rasanya terlalu manis, saking manisnya sampai menyaingi kecantikan resepsionist di lobby depan.

“Tuuuuuuutttt….!” 

Suara panci membahana ke seluruh ruangan dapur. Tanda air yang dimasak sudah matang. Sambil menunggu suhu air panas mendidih itu turun, Zaki mulai meracik kopi khas miliknya. Ia menakar-nakar jumlah kopi yang akan dia pakai. Jika kodisinya mengantuk, ia tambahkan dosisnya agak banyak. Jika kondisinya hanya ingin ‘cuap-cuap’ alias biar mulut nggak cari-cari camilan, takarannya hanya setengah sendok makan.

Saat Zaki sedang asik dengan kopinya, datanglah seorang office boy mendekati dirinya, lalu menyapanya.

“Ngapain, Pak?” sapa office boy itu
“Ini lagi ngulek sambel, Mas.”
“Ehehehe.. bapak bisa aja.”
“Yeee.. lagian udah tau saya lagi bikin kopi malah tanya.”
“Eh, Pak. Saya boleh tanya nggak?”
“Monggo. mau tanya apa?”
“Tapi ini seriusan lho pak. Bapak kan biasanya jawab pake ketawa-tawa gitu”
“Iya,, iya,, hehe,, emang mau tanya apa mas?”
“Pak, gimana ya hukumnya kalo saya sebulan ini belum kasih apa-apa ke istri?” 

Office boy itu umurnya sebelas duabelas dengan Zaki. Hanya selisih setahun lebih tua. Ia sudah memiliki seorang anak dan istri yang sangat ia cintai.

“Maksudnya?” air panas sambil Zaki tuangkan ke dalam cangkir.
“Iya pak, gaji saya sudah sebulan lebih belum turun.” jelasnya office boy itu kemudian
“Eh? Beneran?” jawab Zaki penuh iba. Wajahnya kemudian langsung ia palingkan dari hadapan cangkir kearah office boy itu. Ia tatap betul-betul wajah office boy itu. Dalam hatinya Zaki berkata ‘kasihan’.

Di kantor Zaki tenaga office boy memang diambil dari outsourching. Kejadian ini bukan kali ini saja terjadi, bahkan sudah beberapa kali. Kadang pernah sampai dua bulan gaji belum turun. Jadi ibarat orang kerja sampai keringat bercucuran, kering, keringat lagi, sampe kering lagi, dst sampai mungkin keringatnya nggak bisa keluar lagi tapi upah belum dibayar-bayar. Kasihan kan.
“Iya pak, itu hukumnya gimana ya?”

“Emm, Saya bantu jawab ya.. Saya kan bukan ustad mas. Tapi selama mas nya punya niatan dan berusaha sekuat mungkin mencari nafkah untuk keluarga mas nya, insyaAllah yang seperti ini bisa dibilang ujian buat mas nya.”

“Gitu ya pak?”
“Iya, kalau saya nangkapnya seperti itu mas. Yang sabar ya?” 

Sebenarnya Zaki nggak tega juga ngomong seperti itu. Ingin sekali ia membantunya.

“Bapaknya katanya dulu mau buka usaha, ajak saya ya, Pak?”
“Saya pokoknya mau ikut bapak, disuruh jualan apa aja saya mau deh.”
“Eh? Mas nya serius ngomong gitu?”
“Lah iya pak, serius saya.”
“Saya kan kerjanya kena shift nih, Pak. Kalo malam masuk, saya bisa jualan pagi. Kalo pagi masuk, saya bisa jualan malam.”
“Hmm. gitu ya.”
“Iya pak, buruan dibuka ya pak usahanya”

Zaki terdiam. Kejadian siang itu membuatnya tersedak. Matanya terbelalak. Ia kembali ingat akan impiannya memiliki sebuah rumah makan tradisional terkenal.

***

         Jam menunjukkan pukul 19.00 WIB. Zaki masih di kantor, merapikan beberapa kertas berserakan di atas mejanya. Sambil tangannya bergerak-gerak menyimpan tumpukan-tumpukan kertas pada tempatnya, Zaki berpikir, “Mengapa aku perlu sesibuk ini? Mengapa aku perlu menghabiskan lebih dari setengah hariku hanya untuk mengabdi pada perusahaan? Akankah ini menjadi lebih baik jika aku mengabdikan diri pada jalanku sendiri dengan menjalankan usaha pribadi?” Zaki tidak menemukan jawabannya. Ia pun segera bergegas turun ke lantai dasar dimana motor kesayangannya diparkirkan.      
          
Tanpa diduga, jalanan begitu sepi sehingga Zaki bisa sampai ke kostannya dengan lebih cepat. Ia pun merebahkan diri di kamar kostnya yang sudah hampir 5 tahun ia tinggali. Kamar kecil inilah yang selalu menjadi saksi bisu mimpi-mimpi Zaki, terutama untuk membangun sebuah rumah makan tradisional. Sambil menatap ke arah langit-langit kamar, Zaki larut dalam dialog-dialognya dengan dirinya sendiri, “Mengapa aku begitu tidak beraninya untuk mengambil langkah pertama? Mengapa aku terus menunda? Mengapa aku seperti tidak percaya bahwa pertolongan-Nya akan selalu ada? Mengapa orang lain yang justru lebih percaya kalau mimpiku ini bisa terwujud?”

                Zaki bangkit dari posisi tidurnya dan berjalan menuju meja kerja di ujung kanan. Di atas meja itu terletak sebuah buku lama: buku catatan yang didalamnya ia pernah menuliskan mimpi-mimpinya. Di lembar ke sekian, ia menemukan tulisannya sendiri, ‘MEMILIKI RUMAH MAKAN TRADISIONAL, OKTOBER 2016.”

                Zaki segera mengecek kalender, ternyata sudah bulan Juli. Tepat 3 bulan lagi menuju bulan Oktober, bulan dimana ia pernah berencana untuk mewujudkan mimpinya itu. Zaki pun segera mengambil selembar kertas kosong. Ia mulai menuliskan keperluan-keperluan yang ia butuhkan untuk mewujudkan rumah makan tradisionalnya itu. Segala stragi pasar yang terpikirkannya saat itu pun dituliskannya. Tanpa terasa, Zaki tertidur di atas lantai, di tengah kertas-kertas mimpinya yang berserakan.

***

            Alarm berbunyi nyaring di keheningan malam, Menyadarkan Zaki dari mimpi indahnya. Ia mengusap wajahnya dan segera berwudhu. Ia ingin menemui Sang Pencipta di sepertiga malam yang syahdu.Mengadu sepuasnya. Berdoa agar ia diberi kekuatan dan keyakinan untuk melangkah. Memohon petunjuk agar setiap langkah yang ia pilih selalu berada dalam lindungan dan diridhoiNya. Tak lupa ia pun meminta kelapangan hati agar selalu berhusnudzon apabila segala usahanya kelak menemui rintangan. 

        Setelah  itu, Zaki kemudian menuliskan beberapa kalimat di selembar kertas kosong yang kemudian di tempelkan pada dinding kamar. Kalimat-kalimat yang akan dijadikannya sebagai pengingat. Kalimat pertama yang ia tuliskan berbunyi "lakukan saja apa pun resikonya". Kalimat sederhana namun bagi Zaki, kalimat ini menjadi pengingat agar ia berani melangkah dan tidak terlalu banyak berfikir. Karena terkadang terlalu banyak berfikir menyebabkan ia tak melangkah kemana-mana. Bukankah lebih baik gagal karena mencoba daripada gagal karena tidak pernah mencoba sama sekali. 

         Kalimat kedua yang Zaki tulis berbunyi, "Ada dana dan dukungan inshaAllah impian akan terwujud. Seadainya tidak ada dana dan dukungan, impian juga inshaAllah akan terwujud." Bagi Zaki, kalimat ini sebagai pengingat bahwa apapun kondisinya, impian tetap harus diupayakan. Kalimat ini menjadi pengingat bahwa Allah pasti akan memberikan pertolongan pada hambanya yang berniat baik. 

       Kalimat ketiga adalah nasehat dari Ibn Attailah yang berbunyi "Setinggi-tingginya impian, semaksimal-maksimal usaha tetap tidak akan menggoyahkan takdir Allah." Bagi Zaki, kalimat ini adalah kalimat penyejuk ketika segala usahanya tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Ia yakin bahwa Allah telah mengukur segala sesuatu dengan tepat. Apapun yang terjadi pasti untuk kebaikannya. Tugasnya adalah berusaha, berdoa, dan menyerahkannya hasilnya pada Allah.

         Keesokan harinya, Zaki mulai membuat konsep dan proposal mengenai restoran  yang ingin dirintisnya. Kemudian ia mulai menghubungi beberapa sahabat dan kenalan. Berkali-kali ia silaturahmi kesana kemari. Dan Akhirnya setelah seminggu ia menawarkan proposalnya, seorang kawan lama bersedia bekerja sama. Zaki yang akan menjalankan usaha sedangkan kawannya itu yang akan meminjamkan tempat dengan sistem bagi hasil. 
 


      Zaki sangat bersyukur, kekhwatiran utama tentang tempat telah teratasi. Setelah itu, Zaki mulai mempersiapkan segala sesuatu. Mulai dari merekrut pegawai, mendekor tempat, dan memasarkan restorannya. Tanpa terasa, segala persiapan telah selesai. Zaki kini siap untuk membuka usahanya.    
Read More

Jumat, 29 Juli 2016

Sosok Fikar

Fikar, pemuda umur 24 tahun. Perawakannya sedang, tak tinggi tak juga pendek, tapi rekan-rekannya sering menjulukinya 'anak kecil'. Hidungnya meski tidak pesek juga bukan idaman para wanita. Kulitnya blasteran kulit jawa dan cina, hitam putih seperti sapi. Rambutnya lurus, dengan warna sedikit kemerahan jika terpapar matahari. Rambut itu diwarisi oleh ibunya.

Masa kecil Fikar penuh lika-liku. Saat kecil ia dikenal sebagai anak sawah. Pulang sekolah, ganti baju, main ke sawah, katanya, "Umi, aku ke sawah ya, cari ikan!". Ikan "Jibud", julukannya Fikar dan kawan-kawannya. Ukurannya kecil tak sampai sejari kelingking. Jika digoreng lenyaplah ikan itu dalam hitungan menit. Biasanya ikan itu hanya di taruh dalam wadah toples plastik yang diisi air. Tiap hari diberi makan butiran nasi hingga ikan itu mati atau tewas diterkam kucing liar.

Lain di rumah lain pula di sekolah. Ia dikenal sebagai salah satu anak badung alias nakal. Sering masuk ruang BP karena berkelahi. Jika Fikar ditanya gurunya,"Mengapa kamu berkelahi lagi, Fikar?". Fikar akan menjawab, "Bu, saya itu tidak berkelahi, saya hanya membela diri kok." jawabnya santai sambil sesekali mengendus.

Meskipun Fikar sering membela diri (promis), ia adalah sosok anak yang penurut. Ibu Fikar sejak kecil tak pernah lelah mengingatkan kepadanya untuk selalu sholat dan berdo'a. Setiap ada kesempatan Fikar bercengkrama dengan ibunya, beliau selalu mengatakan, "Nak, tetaplah sholat dan berdo'a, ibu yakin kamu pasti jadi orang sukses!" sambil sesekali mengelus kepala Fikar. Momen itulah yang selalu diingat Fikar dimanapun ia berada. Setiap kali mendengar ucapan itu kepercayaan diri Fikar selalu bertambah dan membuatnya tak pernah membantah ucapan ibunya. Fikar satu-satunya anak yang memanggil ibunya dengan sebutan "Umi", katanya,"Biar aku selalu ingat umi."


****
Tulisan ini hanyalah fiktif belaka dan akan menjadi cerita yang bersambung. Untuk melihat sambungan ceritanya, silahkan teman-teman masuk ke label "Sudah Saatnya!"
Read More

Senin, 25 Juli 2016

TAK SEPENDEK AKAL MANUSIA

Tulisan ini merupakan bagian dari project sambung-menyambung tulisan yang saya tulis bersama kak Dian Yuni Pratiwi dan Novie Octavia. Tulisan sebelumnya bisa dilihat di label #ProjectMenulis 


Hujan deras turun di kotaku tepat saat aku hendak melangkah keluar kantor di jam pulang. Alih-alih menunggunya reda, aku tetap memilih untuk pulang karena teringat janjiku pada Ibu untuk membuatkannya makan malam. Aku pun berjalan menuju tempatku menunggu angkot. Rindangnya pepohonan ditambah dengan adanya suara-suara burung dan jangkrik di sepanjang jalan ini membuat aku merasa keluar masuk hutan setiap hari ketika pergi dan pulang kantor. Menyenangkan!

 Angkot yang aku tunggu pun datang. Aku langsung masuk dengan terburu-buru, khawatir derasnya hujan akan semakin membuatku basah kuyup. Di dalam angkot, aku dikejutkan dengan sebuah pemandangan menarik: seorang anak kecil yang sedang ketakutan dan seorang ibu yang memeluknya erat dari samping. Terlihat sekali bahwa anak itu sedang khawatir. Mungkin karena khawatir mainannya yang masih diletakkan di pekarangan kehujanan, atau karena khawatir dimarahi ayahnya karena ia menghilangkan jam tangan barunya, atau karena mengkhawatirkan masa depan. Eh, tunggu! Masa depan? Ah, tentu tidak mungkin anak sekecil itu mengkhawatirkan masa depan! Diam-diam, itu adalah khawatirku yang tak ingin aku ceritakan kepada banyak orang.

Tak lama kemudian, ponselku bergetar, seorang sahabat yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri meneleponku untuk ketiga kalinya di hari ini,

“Assalammualaikum, dek!” sapa sebuah suara di seberang sana.
“Waalaikumsalam. Ada apa, teh?” aku tahu pertanyaanku sangatlah basa-basi karena sebenarnya aku paham apa yang akan ditanyakannya.

“Gimana dek, apakah kamu sudah bersedia untuk berproses dengan temanku itu?”
“Aku sebenarnya tidak keberatan, aku pun telah mengenal ihwan itu dengan baik. Tapi, aku merasa perlu memikirkan ini lebih lanjut dulu.”
“Masih karena alasan ketidaksiapanmu dalam hal finansial?”
“Begitulah, teh ...”
“Baiklah kalau begitu, silahkan dipikirkan dengan bijaksana ya, dek! Ingat, ada Allah yang akan menghapuskan segala khawatirmu.”

Telepon pun terputus, menyisakan aku yang terdiam memandang layar ponsel. Ah! Ini adalah kekhawatiran masa depan yang tak bisa aku ceritakan kepada orang-orang. Bagaimana bisa aku menghkhawatirkan ini? Bukankah takdir Allah tak sependek akalku sebagai manusia?

***

            Tak lama kemudian, tibalah aku di rumahku yang sederhana namun penuh kedamaian. Segera aku mengucapkan salam, mencium tangan ibu, bergegas membersihkan diri, lalu menyiapkan makan malam. Aku tak ingin membuat ibu dan adik semata wayangku menunggu terlalu lama.  Aku ingin segera melihat mereka menikmati masakanku. Dan bagiku melihat mereka berdua menyantap masakanku dengan begitu lahapanya adalah hal yang paling membahagiakan.  Setelah itu kami pun makan malam, diselingi dengan percakapan dan canda tawa yang penuh kehangatan. Tiba-tiba ibu mengagetkanku dengan candaan yang membuatku tersipu,

            “Masakanmu makin lama makin enak, Tar. Udah cocok buat masakin pasangan dan mertua.” Ibu tersenyum lebar menggodaku.
            “Iya Bu. Doain ya, Semoga Tari bisa segera bertemu dengan jodohnya.” Jawabku sambil menunduk malu.
            “Apa tidak ada ikhwan yang sedang berproses denganmu, Tar?” Ibu menatapku sendu, Raut wajahnya berubah menjadi lebih serius.

            Ruangan hening sejenak.

            “Hmm sebetulnya ada, Bu. Temannya Teh Rani tapi Tari ragu. Tari khawatir akan masa depan finansial. Sebetulnya, iya adalah pemuda yang baik agama dan akhlaknya, hanya saja pekerjaannya tidak tetap Bu.”
            “Tari, masih ingat nasehat Ibn Atha`illah yang sering dikatakan Almarhum ayahmu. Ibn Atha`illah menulis dalam kitabnya ‘Istirahatkan dirimu dari mengatur urusanmu karena segala yang telah diurus untukmu oleh Allah SWT tak perlu engkau turut sibuk memikirkannya’. Masih ingatkan Tar dengan nasehat itu?”   
     
            “Iya, Bu.” Jawabku singkat.
           “Allah Maha Kaya, Maha Penyayang, Maha Pengatur, Maha Pemberi Rejeki. Kita tidak perlu terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang sudah diatur oleh-Nya. Ibu ingin menceritakan kisah anak gagak. Tari sudah tahu tentang kisah ini?”
            “Belum, Bu.”

            “Ketika anak gagak baru menetas, belum ada bulu yang tumbuh menutupi tubuhnya. Tubuhnya masih terlihat putih kemerahan. Karena berbeda, sang induk merasa bahwa bayi gagak itu bukanlah anaknya. Sehingga ia tidak memberikan makanan untuk sang bayi. Apakah bayi gagak itu mati kelaparan? Tidak nak. Allah telah mengatur rejeki untuk anak gagak itu. Bayi gagak mengeluarkan suatu cairan dari tubuhnya. Cairan yang dapat mengundang serangga-serangga untuk mendekat. Dan serangga-serangga itulah makanan untuk bayi gagak.” Ibu menatap Tari sendu, “Apa yang Tari bisa pelajari dari kisah ini?”

            “Allah telah mengatur segala sesuatu untuk hambanya, Bahkan untuk rejeki bayi gagak pun telah diatur oleh-Nya. Apalagi tentang urusan manusia, pasti telah diatur dan dijamin oleh Allah, Bu.” Kataku.

            “Nah, akhirnya Tari mengerti. Jadi Tari tak perlu mengkhawatirkan apa-apa yang telah dijamin oleh Allah. Tugas Tari hanyalah berusaha sebaik mungkin, berdoa dan tetap berprasangka baik akan rencanaNya. Kalau menurut Tari, agama dan akhlak ikhwan itu baik, ya sudah berproses saja dengannya. Siapa tahu memang dia orang yang telah dipersiapkan Allah untuk Tari.”

            “Iya, Bu. Tari akan istikharah lagi untuk memantapkan hati."

***


Sebenarnya bukan kali ini saja hatiku bergetar-getar tak karuan. Satu sisi hatiku berkata ‘iya’ satunya lagi berkata ‘tidak’. Sama seperti ketika aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah atau kerja. Suatu keputusan yang sulit. Lanjut kuliah tapi belum ada biaya, sedangkan bila bekerja belum tentu bisa disambi dengan kuliah. Ahh.. keputusan yang sulit.

Disaat momen-momen seperti itulah aku memutuskan untuk istikharah. Meminta petunjuk kepada sang Pemilik Hati. Karena urusan jodoh memang seringkali dikaitkan dengan ‘rahasia Ilahi’ yang mengejutkan. Ada yang baru saja kenal tiba-tiba langsung menikah. Akan tetapi lebih banyak lagi yang sudah lama dekat namun apa dikata akhirnya dipisahkan oleh sekat.

Sejak saat itu, aku mulai memikirkan tawaran teh Rani. Sambil terus berdoa, aku pun mulai mencari-cari tema bacaan tentang pernikahan. Sampai suatu ketika, secara tak sengaja, ketika jam istirahat aku melihat Mutia sedang duduk sambil sesekali tersenyum sendirian di sudut ruangan,

“Hayyyoo!!! Mutia, kamu kenapa ketawa-ketawa sendiri?” tanyaku penasaran.
Eh, Tari.. jadi malu.. hehehe” Mutia langsung buru-buru melepas headset miliknya.
“Kamu lagi nonton apa, Mutia? sepertinya seru sekali!” selidikku pada Mutia
Ah,, enggak kok Tari. Bukan apa-apa.” Sanggah Mutia. Padahal jelas terlihat raut mukanya terlihat malu. Ia berusaha menutup-nutupi layar gadget miliknya.

“Iiihh.. Mutia gitu ya sama aku,,” godaku sambil bermimik muka tanda kecewa.
“Tapi jangan bilang siapa siapa ya, Tari? Pleassee…”
“Emmm,, kira-kira gimana?” Aku terus menggoda Mutia. Sambil memalingkan wajahku dari hadapan Mutia.

“Iya deh.. iya.. tapi jangan bilang siapa-siapa loh ya?” pinta Mutia penuh harap
“Ehehehe… terus-terus gimana? Apa yang tadi Mutia tonton?”
“Sssttt… jangan keras-keras Tari, banyak orang.”

Akhirnya kami mulai menonton, sambil sesekali mata mereka melirik kanan-kiri berharap tidak ada orang yang iseng mendekati mereka.

“Loh Mutia, ini kan ustad yang sekarang lagi naik daun? Kajiannya banyak tersebar dimana-mana.”
“Iya Tari,,, Nah yang sekarang kita tonton ini temanya tentang NIKAH! En,, Iii,, Kaa.. Ahh!” Jawab Mutia penuh semangat membara.
“Hahahaha… pantesan kamu sembunyi-sembunyi gitu nontonya, takut ketahuan ya???” godaku.
“Hehehe.. Tari bisa aja.”
“Memangnya Mutia sudah ada calon?”
“InsyaAllah sudah ada Tari.. tapi ini masih rahasia kita berdua ya”
“Wahhh… selamat! Selamat! Gimana ceritanya?” Aku pun memeluk pundak teman mutia.

“Itu panjang banget Tari, aku juga nggak nyangka.”
“Nggak nyangka gimana?”
“Iya,,, aku itu belum pernah kenal sama sekali dengan dia”
“Serius? Terus apa yang membuatmu yakin dengannya?”
“emm apa yaaaa,,,?”
“Pertama, aku sangat senang dengan niat baik orangnya. Dia langsung menemui orangtuaku, berkenalan dan mengutarakan niatnya untuk menikah”
“Kedua, aku sempat selidiki juga ke beberapa temannya, semua mengatakan ‘dia baik agamanya juga perangainya’.”
“Dua hal itu itu yang membuatku yakin!”
“Sesimpel itu kah?”
“Iya, kan ada hadits yang mengatakan “Jika datang melamar kepadamu orang yang kamu ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dengannya, jika kamu tidak menerimanya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi di bumi dan kerusakan yang luas – HR Tirmidzi”.”
“Iya.. iya… aku pernah tahu itu Mutia.”
Tapi ganteng nggak Mutia?” godaku lagi
“Ya ampun Tariii.. !!” kami berdua pun lalu tertawa dan melanjutkan kembali nonton video kajian di youtube sampai jam istirahat usai.

Lepas itu, Aku semacam mendapatkan pencerahan dari Mutia. Aku jadi bertambah yakin bahwa keraguanlah yang menghambat semuanya, padahal ada Allah yang menjamin masa depan miliknya. Selama itu baik tak perlu ragu, karena ragu bersumber dari tidak tahu.
“Mungkinkah itu jawaban dari doa-doa istikharah ku?”

Segera ku ambil gadget dan mengetik, “Assalamualaikum, Teh,,, Apakah ikhwan itu masih ingin berta’aruf denganku? Jika iya, silahkan bertemu dengan bapak ku di rumah.” Sambil membaca Bismillah dan menghembuskan nafas berat, Tari kirimkan pesan itu.

“SENT”

*) Tari juga sempat menanyakan judul video itu. Judulnya ’Mahkota Pengantin’, video kajian berseri di youtube. Cocok bagi yang belum menikah ataupun sudah menikah.
Read More