Jumat, 21 Maret 2014

Ma, Besok Aku Puasa Sunnah Ya?


Bagaimana apabila suatu saat nanti kita ditanya oleh anak kita yang masih berumur 11 tahun dengan pertanyaan seperti ini?

“Ma, besok aku puasa ya?”

Pertanyaan ini akan menjadi biasa apabila ditanyakan saat bulan ramadhan tiba. Namun, bagaimanakah apabila pertanyaan ini dilontarkan saat sang anak kecil tersebut berkeinginan untuk melakukan puasa senin-kamis? Nah loh!

Sebagian besar orangtua pasti akan mengatakan ini;
“Loh kenapa, Nak?”
“Gpp Ma, besok kan kamis, nah aku mau puasa sunnah”

Mengerti orangtuanya jarang puasa senin kamis, orangtuanya pun bertanya lagi;
“Disuruh sama siapa? Sekolah, guru, atau teman?”
“Enggak, Ma. Aku mau sendiri.”
“Kasih ijin atau enggak ya?” orangtua mulai mikir.

Awalnya, orangtua pasti akan selalu khawatir bila dimintai izin seperti itu.
“Apakah dia kuat?”
“Sekolahnya kan full dari pagi sampai sore, aku takut bila anakku ada apa-apa.”
“Aku takut anakku sakit.”
dll

Hal ini saya alami sendiri dan bagi saya hal ini merupakan pengalaman yang sangat berharga. Bagimana tidak berharga, baru kali ini saya mengalami dan mendengar sendiri seorang anak kecil yang belum baligh melontarkan kalimat “Aku ingin puasa.” puasa sunnah lagi! Dan saya yakin suatu saat nanti pasti saya akan ditanya seperti demikian oleh anak saya. Bagaimana saya harus menjawabnya? Bagaimana saya harus menjelaskannya? Bagaimana saya harus memberikan keputusan yang bijak? Bagaimana agar saya tidak sampai menyinggung perasaannya? Bagaimana cara saya agar jawaban saya tidak sampai membuatnya kecewa? Sungguh, hal ini berkecamuk dalam pikiran saya manakala anak kecil yang saya temui tersebut bertanya kepada ibunya perihal izin untuk puasa sunnah.

Orangtua yang bijak, adalah orangtua yang mengerti dan memahami keinginan anaknya. Namun, tidak segalanya harus dipenuhi dan dituruti. Mereka pasti mengerti karakter dan kondisi anaknya masing-masing. Jika sudah begitu maka kita (yang masih belum berkeluarga atau belum punya anak) sebagai orangtua harus benar-benar mempersiapkan diri bila menghadapi kondisi tersebut. Bukan tidak mungkin nantinya anak kita yang masih berumur 6 tahun (MasyaAllah) akan meminta izin dari kita untuk melakukan puasa sunnah.


--------------
*Alhamdulillah, anak tersebut kemarin puasanya full. Dan dia mengatakan dengan bangga klo dia bisa puasa sunnah senin-kamis. Subhanallah!
Read More

Selasa, 18 Maret 2014

Bertualang Dengan Subuh

"Sayang, bangun yuk!"
"Ayuk bangun, solat subuh dulu." sambil kuelus-elus tangan dan kakinya.
"Ayuk sayang, banguun."

Dulu, sering kali kugunakan kata-kata tersebut untuk membangunkan teman-temanku. Terkesan menjijikkan memang, apalagi teman-teman satu asramaku laki-laki semua. Semacam terkesan hombreng, bukan? Tapi, dengan jurus tersebut biasanya teman-temanku langsung respon, melek, ngelirik, kemudian tersenyum simpul. "Ah, dia sudah bangun" begitu simpulku sambil ikut tersenyum.

Kadang pula jurus itu tidak berhasil aku terapkan. Jurus itu hanya kuterapkan kepada teman-teman yang kuanggap dekat dan punya selera humor. Untuk teman-teman yang tidak begitu dekat, biasanya hanya kubangunkan layaknya orang lain membangunkan.

"Fulan, bangun, sudah subuh." kalimat ini yang kugunakan.

Beragam kesan tersendiri dalam membangunkan teman untuk solat subuh. Ada yang langsung bangun (ini yang kusuka), ada yang mulet dulu, ada yang bangun - duduk - tidur lagi, ada yang mengeluh, ada yang marah-marah, ada yang pura-pura nggak denger, ada yang semakin dibangunkan semakin kuat menahan selimut, dan ada pula yang ketika sudah bangun kemudian melihatku pergi langsung tidur lagi. Bagiku hal-hal tersebut merupakan hal yang biasa. Karena sebagian besar hidupku kuhabiskan tinggal di asrama.

Solat subuh merupakan kewajiban bagi seluruh pemeluk agama islam. Tanpa terkecuali bagi yang sudah memenuhi syarat wajib sholat seperti, islam, baligh, berakal, suci, dll. Bahkan, orang yang sakitpun tidak ada toleransi untuk tidak solat. Nah, loh! penting banget, bukan?

Oke, balik lagi ke asrama. Meski mayoritas yang tinggal di asrama adalah lulusan pesantren, nyatanya tak semata-mata semua penghuninya menghayati hakikat solat subuh. Kadang aku heran sendiri, 

"Ini solatnya kok pas udah terang?" 
"Ini kok malas ke masjid?"
"Ini kok lebih suka solat di asrama daripada di masjid?"
"Ini kok bangunnya siang terus?"
"Ini kok biasa-biasa aja solat kesiangan?"
"Ini kok.. kok... kukuruyuuuukkkk!!"

Inilah realita anak muda jaman sekarang. Sering seenaknya mempermainkan waktu solat. Bila sudah telat, selalu mempunyai alasan untuk mengelak. Yaaahh,,, apa mau dikata, umat harus sabar menghadapi cobaan seperti ini. #piuh!

Bagaimana harus kujelaskan kepada mereka? Seingatku, aku pernah mengatakan pada mereka ketika kajian tentang masalah solat subuh. Tapi kata-kataku bagaikan ditelan ombak, hanya berefek sebentar.

Inginku, mereka memiliki kesadaran diri sendiri. Sadar hakikat dua rakaat sebelum solat subuh, berjamaah di masjid, berdo'a diantara adzan dan iqomah, berdo'a setelah solat, berdiam diri di masjid hingga syuruq.

Aku memang tak sempurna, kadang sebulan ada 1-2 kali yang telat bangun sehingga harus merelakan tidak berjamaah di masjid. Namun, aku memiliki kemauan kuat untuk bisa solat subuh berjamaah. Ada kesan tersendiri bagiku ketika akan ke masjid. Bisa melihat ribuan bintang bersinar, rembulan yang merekah, dinginnya waktu subuh, menghirup udara segar. Melihat anak kecil yang masih mengantuk digendong ayahnya ke masjid, sebagian penjual dari pasar yang ingin berjamaah, dan kadang bertemu bidadari cantik yang juga ingin bertamu di rumah Allah (hehe, yang ini bonus). Inilah kebahagiaan yang Allah bagi untukku (dan juga orang lain mungkin).

Maka dari itu, setiap kali akan tidur, tak lupa aku selipkan niat dalam doaku. Niat untuk dapat ke masjid. Alhamdulillah, sejauh ini Allah selalu mendengar niat tersebut. Maka aku tak heran, semalam apapun aku tidur inshaaAllah subuhnya pasti bangun dan berjamaah di masjid. Karena apa? karena niat! Niat baik selalu diijabah oleh Allah.

Pesan: Untuk teman-temanku. 
- Bila masih susah berjamaah di masjid, usahakan jangan tidur terlalu malam. Maks jam 10 untuk mahasiswa. Jangan melakukan kegiatan yang tak berguna (seperti main game, chattingan, dll). Bila semua tugas telah selesai usahakan langsung tidur.
- Bila memang harus tidur malam, usahakan sebelum tidur wudhu dan niat, kemudian tips dariku minum air 1-2 gelas. Insya Allah pasti bangun. Garansi 100%!!
- Bagi yang masih muda: Mumpung masih muda, belajarlah istiqomah.
- Bagi yang sudh berumur: Hayoo!! ntar lagi ajal menjemput! :D

Read More

Minggu, 16 Maret 2014

Menabung Uang Menabung Amal

Entah sejak kapan aku keranjingan menabung. Bila diruntut kebelakang sepertinya sudah sejak lama. Namun, yang pasti ku ingat adalah saat aku duduk di bangku menengah atas. Ya, saat itu aku menabung karena keadaan yang mengharuskan.

Saat itu ingat sekali bahwa kondisi ekonomi orangtua yang belum stabil sejak awal kakak pertamaku masuk ke bangku menengah pertama dan dilanjutkan tahun berikutnya aku yang harus gantian masuk. Perbedaan aku dan kakakku hanya setahun. Inilah yang menjadi awal mula permasalahan ekonomi keluarga kami. Terutama saat masuk ke bangku menengah pertama, orangtua kami harus merogoh kocek yang cukup dalam agar kami berdua bisa meneruskan pendidikan di sebuah pesantren moderen di Jawa Barat.

Awal mula di bangku SMP aku tak biasa dengan bahkan tak kenal yang namanya menabung. Bagaimana mau menabung bila sebulan cuma diberi uang saku 100 ribu? Bahkan tahun-tahun awal hanya mentok di angka 50 ribu. #ngenes.. Tapi tak apa, diumur segitu aku sudah paham dengan kondisi mereka. Aku tak ingin lagi memberatkan mereka. Pikirku masih beruntung dikasih uang saku daripada tidak sama sekali. Akhirnya selama tiga tahun awal aku hanya menjadi pribadi yang hemat, bukan pribadi penabung :)

Keadaan sedikit berubah saat aku menginjak bangku menengah atas. Saat itu aku sedikit-sedikit sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Berawal mendaftar menjadi pengasuh santri madrasah ibtidaiyah, tanpa sengaja aku didapuk oleh salah seorang wali santri untuk menjadi guru privat anaknya. Inilah pengalaman pertamaku memiliki profesi sekaligus pengalaman pertama berprofesi tanpa dibayar dengan uang. Meskipun begitu, aku sering diberi makanan oleh wali santri tersebut dan hal ini sedikit bisa mengurangi pengeluaranku untuk jajan di kantin.

Disamping itu, aku juga melihat peluang untuk berjualan. Aku menjual jajanan-jajanan, seperti roti isi, cocolatos, coklat, dll,  yang ku stok secara diam-diam dari luar pesantren. Ya, kulakukan diam-diam karena memang hal ini dilarang keras oleh pihak pesantren. Namun kupikir bila tidak ketahuan maka tidak mengapa. Ya nggak? :) Dari sini aku berhasil menabung secara rutin! Ya disinilah awal mula aku benar-benar memulai hidup dengan menabung. 

Senang sekaligus bangga apalagi disaat-saat akhir aku berhasil mengumpulkan uang hingga 7 digit. Sebagian ku berikan kepada orangtuaku, sebagian lagi kugunakan untuk jalan-jalan di Jakarta setelah lulus. Senangnya bukan main! :)

Tak berhenti sampai situ saja. Kebiasaan baik ini masih terus berlanjut hingga saat ini, saat aku kuliah. Sama seperti awal-awal masuk jenjang SMP, awal masuk kuliah (2009) aku hanya diberi uang saku sebesar 150 ribu sebulan. Ya kondisi orangtuaku lagi-lagi masih belum mumpuni, karena bertepatan aku kuliah, adikku yang paling bungsu harus mendaftar ke pesantren. Bisa dibayangkan hidup dengan uang 150 ribu dalam sebulan? Saat itu nasi campur dengan kuantitas seadanya harus ditebus sebesar 3 ribu seporsi. Otomatis jurus berhemat harus kembali diperagakan. 

Aku menganggarkan uang 4 rb tiap harinya. Dan bila ada teman yang pergi mengajakku sarapan pagi, aku selalu menjawabnya dengan "Nanti aku susul". Aku benar-benar menyusul mereka, tapi bukan ke kantin, tapi langsung menyusul mereka ke kelas. Alasan ini terus kulakukan, karena ku tahu hanya bisa makan saat malam saja. Bila pagi dan siang makan, maka jatah 1-2 hari kedepan benar-benar hilang.

Namun, bukan berarti saat itu aku tidak bisa menabung. Dengan kondisi seperti itu aku masih bisa menabung. setidaknya 50 ribu - 20 tiap bulannya. Uang tabungan tersebut kugunakan untuk ongkos pulang dan membeli oleh-oleh untuk dibawa kerumah orangtua.

Sejak semester 3 hingga semester akhir, berkat bantuan Allah, akhirnya aku mendapat pekerjaan. Otomatis aku memiliki penghasilan. Berkat itu pula pundi-pundi tabunganku terus bertambah. Kadang kubelikan untuk keperluan-keperluan yang mendesak. 

Oh ya, sejak saat itu alhamdulillah pula aku bisa rutin untuk sedekah. Dulunya seribu aja udah was-was, sekarang 6 digit tidak masalah bagiku. Alhamdulilah, ini juga berkat menabung :). Pun bisa ngasih adik, saudara, nenek, bude, terutama orangtua merupakan kebahagiaan yang tak terkira. Aku pun kadang berpikir, mungkin inilah jalan yang Allah berikan untukku. Selalu susah diawal, kemudian memaksaku untuk berusaha mencari cara mengatasinya, dan akhirnya bisa keluar dari hambatan tersebut. Inilah takdirku.

Dan targetku yang sekarang adalah berkurban. Sejak dua tahun belakangan aku sangat ingin berkurban, bukan hanya menjadi tukang bantu-bantu saat berkurban. Hasrat ini akhirnya semakin bulat saat perayaan kurban tahun kemarin. Aku memutuskan untuk ikut berkurban tahun berikutnya (tahun ini). Aku ingin ikut program patungan sapi. Alhamdulillah, niat baikku ini didengar oleh kakak dan ibuku. Mereka berdua juga sepakat untuk kurban patungan sapi tahun depan. Sempat kubuka celenganku, kuhitung uang yang ada didalamnya. Alhamdulillah, setelah setengah tahun menabung sepertinya sudah cukup untuk kurban. Alhamdulillaaah.. senangnya bukan main! Mungkin inilah kekuatan sebuah niat. Niat baik selalu direstui sama Allah.

Bagiku menabung adalah bagian dari proses kehidupan. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi kedepan. Untuk itu diperlukan persiapan, sehingga apabila dibutuhkan mudah-mudahan akan membantu sedikit bahkan keseluruhan. Hidup menabung!
Read More

Jumat, 14 Maret 2014

Kamar Impian

Dari dulu saya sangat ingin sendiri punya kamar sendiri. Bukan tanpa alasan, hal ini karena saya sangat suka mendekorasi kamar sendiri, menata kamar sendiri, ah pokoknya senang bila kamar tampak indah dan nyaman.

Dulu pernah punya kamar sendiri, lebih tepatnya waktu sd. Kamar berukuran 2x2 tersebut berada di lantai 2. Tak bagus, namun saya suka. Saya tempel sana-sini bila mendapatkan hadiah stiker dari bungkus chiki.

Sejak smp keinginan memiliki kamar sendiri belum pernah terwujud hingga kuliah. Saya harus tinggal di asrama. Mau tidak mau, tinggal di asrama harus rela bagi-bagi. Dulu smp-sma satu kamar berisi 10 orang. Sekarang, waktu kuliah, saya harus sekamar berdua, dan ini yang membuat berbeda.

Seumur saya kuliah, tidak pernah ada satupun room mate yang benar-benar bertahan dengan sikap saya. Room mate pertama, saya masih ingat, hanya bertahan 3 bulan saja. Mungkin, yang saya pahami, dia lebih memilih menghormati saya sebagai room mate. Saya bukan tipe perokok, sedan ia kebalikannya. Ya, cukup bijak!

Room mate kedua, seorang musisi. Awalnya saya sangat senang sekali bisa sekamar dengannya. Bisa belajar gitar, keyboard, nyanyi bareng, rekaman bareng, buat lagu baru bareng. Ah, indah pokoknya! Namun, lagi-lagi saya akhirnya harus terpisah kembali dengan room mate terbaik yang pernah saya dapat. Saat itu ada permasalah diantara kita berdua, dan akhirnya kita berpisah baik-baik. Sambil nangis-nangis malah T.T. Cukup menyesal kehilangannya, karena permasalahan ini (mungkin), ia memutuskan untuk pindah ke kos-kosan ketimbang meneruskan di asrama. Intinya saya menyesal dan merasa berdosa karenanya.

Room mates ketiga, sekamar diisi tiga orang. Yang satu mantan sobat saya dan satunya lagi senior tepat satu tahun diatas saya. Saat itu kamar saya mendapat julukan 'kamar skripsi' karena semuanya sedang dalam proses pengerjaan skripsi. Saat itu kami mendapatkan kamar yang cukup besar, mungkin sekitar 5x4. Mungkin gara-gara itu kamar tersebut mendapatkan ranjang berukuran ekstra large *tapi tingkat :(*.

Karena tingkat, maka ada salah satu dari kita yang harus mengalah untuk berbagi kasur. Jadi kasur bawah ditiduri dua orang, dan sisanya diatas. Saat itu saya dan senior yang berbagi. Awalnya tidak mengapa, tapi lama kelamaan, saya yang jadi malas untuk berbagi. Bukan tanpa alasan saya mengatakan demikian. Karena saya adalah orang melankolis yang menginginkan semuanya tampak sempurna, termasuk urusan kasur. Saya risih bila harus terus menerus yang membereskan kasur tersebut. Tak ada rasa kasihan sedikit pun sepertinya dari pihak senior. Piuh, melihatnya tinggal langsung tidur di kasur yang rapih itu rasanya bikin ati tak menentu, kesal hati iya. Dari hal ini saya sedikit memberi respect ke dia. Hanya ucap say hello, tak lebih.

Sedang room mate yang satunya, awalnya saya senang ketika ia pindah dari kos-kosan menuju asrama. Saya sediakan semua kebutuhannya ketika pindah. Saya rapihkan kamar saat menyambutnya agar ia nyaman dan betah saat tiba. Satu dua bulan terlewati dan mulai muncul kebiasaan buruk manusia. Saya merasa menjadi babu dikamar sendiri. Saya yang awalnya sendirian di kamar tersebut, akhirnya harus rela menjadi pelayan bagi mereka berdua. Bingung  dan marah saat itu hanya saya ungkapakan dengan cara tidak berbicara kecuali hanya sekedar menyapa. Dalam hati sebenarnya saya berontak, namun saya khawatir apabila hal tersebut diluapkan saya malah menjadi bianatang buas yang tidak terkontrol. Saya sangat sadar sekali dengan emosi saya. Maka cukup dengan diam, itu tanda tak setuju dan tanda ketidaknyamanan saya.

Well, akhirnya dua orang tersebut pergi dari asrama karena telah menyelesaikan skripsi mereka, sedang saya belum, hehe. Dalam hati yang terdalam jujur saya senang :) karena inilah pilihan terbaik dari yang terbaik.

Dan sekarang adalah room mate ke empat. Yang ini adalah room mate terakhir. Umurnya lebih muda dari saya. Saya skripsi, dia baru masuk kuliah. Sebelum ia datang, saya sudah diwanti-wanti sama pamannya yang saat itu pernah datang untuk menengok isi asrama. Saya diwanti-wanti agar nanti mau untuk tinggal dengan room mate ini. Saat itu saya hanya iya saja, tanpa ada keraguan sedikit pun. Kemudian saya ditelpon oleh pengasuh asrama, bahwa saya akan sekamar dengan anak baru tersebut. Saya ditanyai apakah mau pindah posisi ranjang. Sebelum ia datang saya memilih ranjang bawah. Mengalah adalah pilihan yang cukup bijak, mengingat saat itu saya menginginkan room mate ini akan mengakhiri kutukan saya selama ini. Kutukan tidak pernah akur dengan rekan sekamar.

Akhirnya waktu itu pun tiba. Ia datang beserta ayah dan ibunya. Tak banyak bicara pada saat ia datang pertama kali, karena memang waktu itu sudah larut malam. Saya pun hanya basa-basi dan segera menuju ranjang atas.

Sopan, itu yang awalnya saya tangkap. Karena setiap kali ia baru datang kuliah selalu mengucap salam ketika akan masuk kamar. Membungkuk ketika lewat dihadapan saya. Pokoknya saya taruh respect ke dia. Lambat laun, ia tetap seperti itu, sopan. Namun, saya yang melankolis akhirnya menangkap hal-hal yang negatif darinya. Mulai dari malas membersihkan kamar, merapihkan kasur, membereskan meja belajar, malas ke masjid, hingga bermalas-malasan tidak mengikuti kajian. Bak room mate ketiga, saya akhirnya memiliki pekerjaan kembali. Membereskan kamar, termasuk barang-barangnya. Sungguh keterlaluan! dan anehnya ia tak sadar bila barangnya telah rapih dan mengulang lagi kebiasaan buruknya.

Ah, sudahlah. Cukup sudah aku bertahan. Sungguh, saat ini aku muak bila melihatnya, terutama bila adzan tiba. Tak ada terbersit pun untuk segera menuju panggilanNya. Biarkan aku yang membereskan kamar sedang ia asik-asikan berada di kamar sebelah. Saat ini aku diamkan dia seorang, harapannya agar ia tersadar. Mengapa tak langsung saya katakan padanya? Saya bukan tipe seperti itu dan saya paham sekali karakter emosi saya yang pasti akan meledak. Karena bagi saya hal-hal tersebut, yang telah saya sebutkan diatas, adalah sangat sensitif.

Well, pada akhirnya saya masih menginginkan kamar sendiri. Tak ingin kembali bila harus berperang dengan batin. Bila pun nanti sudah berkeluarga, saya tetap ingin punya ruangan sendiri untuk saya kerja dan menyendiri. Ya, itu impian saya.
Read More