Tulisan ini merupakan bagian dari project sambung-menyambung tulisan yang saya tulis bersama kak Dian Yuni Pratiwi dan Novie Octavia. Tulisan sebelumnya bisa dilihat di label #ProjectMenulis
Hujan deras
turun di kotaku tepat saat aku hendak melangkah keluar kantor di jam pulang. Alih-alih
menunggunya reda, aku tetap memilih untuk pulang karena teringat janjiku pada
Ibu untuk membuatkannya makan malam. Aku pun berjalan menuju tempatku menunggu
angkot. Rindangnya pepohonan ditambah dengan adanya suara-suara burung dan
jangkrik di sepanjang jalan ini membuat aku merasa keluar masuk hutan setiap
hari ketika pergi dan pulang kantor. Menyenangkan!
Angkot yang aku tunggu pun datang. Aku
langsung masuk dengan terburu-buru, khawatir derasnya hujan akan semakin
membuatku basah kuyup. Di dalam angkot, aku dikejutkan dengan sebuah
pemandangan menarik: seorang anak kecil yang sedang ketakutan dan seorang ibu
yang memeluknya erat dari samping. Terlihat sekali bahwa anak itu sedang
khawatir. Mungkin karena khawatir mainannya yang masih diletakkan di pekarangan
kehujanan, atau karena khawatir dimarahi ayahnya karena ia menghilangkan jam
tangan barunya, atau karena mengkhawatirkan masa depan. Eh, tunggu! Masa depan?
Ah, tentu tidak mungkin anak sekecil itu mengkhawatirkan masa depan! Diam-diam,
itu adalah khawatirku yang tak ingin aku ceritakan kepada banyak orang.
Tak lama
kemudian, ponselku bergetar, seorang sahabat yang sudah kuanggap sebagai kakak
sendiri meneleponku untuk ketiga kalinya di hari ini,
“Assalammualaikum, dek!” sapa sebuah suara di
seberang sana.
“Waalaikumsalam. Ada apa, teh?” aku
tahu pertanyaanku sangatlah basa-basi karena sebenarnya aku paham apa yang akan
ditanyakannya.
“Gimana dek, apakah kamu sudah bersedia untuk berproses
dengan temanku itu?”
“Aku sebenarnya tidak keberatan, aku pun telah
mengenal ihwan itu dengan baik. Tapi, aku merasa perlu memikirkan ini lebih
lanjut dulu.”
“Masih karena alasan ketidaksiapanmu dalam hal
finansial?”
“Begitulah, teh ...”
“Baiklah kalau begitu, silahkan dipikirkan dengan
bijaksana ya, dek! Ingat, ada Allah yang akan menghapuskan segala khawatirmu.”
Telepon pun
terputus, menyisakan aku yang terdiam memandang layar ponsel. Ah! Ini adalah kekhawatiran
masa depan yang tak bisa aku ceritakan kepada orang-orang. Bagaimana bisa aku
menghkhawatirkan ini? Bukankah takdir Allah tak sependek akalku sebagai
manusia?
***
Tak
lama kemudian, tibalah aku di rumahku yang sederhana namun penuh kedamaian.
Segera aku mengucapkan salam, mencium tangan ibu, bergegas membersihkan diri,
lalu menyiapkan makan malam. Aku tak ingin membuat ibu dan adik semata wayangku
menunggu terlalu lama. Aku ingin segera
melihat mereka menikmati masakanku. Dan bagiku melihat mereka berdua menyantap
masakanku dengan begitu lahapanya adalah hal yang paling membahagiakan. Setelah itu kami pun makan malam, diselingi
dengan percakapan dan canda tawa yang penuh kehangatan. Tiba-tiba ibu
mengagetkanku dengan candaan yang membuatku tersipu,
“Masakanmu
makin lama makin enak, Tar. Udah cocok buat masakin pasangan dan mertua.” Ibu tersenyum
lebar menggodaku.
“Iya
Bu. Doain ya, Semoga Tari bisa segera bertemu dengan jodohnya.” Jawabku sambil
menunduk malu.
“Apa
tidak ada ikhwan yang sedang berproses denganmu, Tar?” Ibu menatapku sendu,
Raut wajahnya berubah menjadi lebih serius.
Ruangan
hening sejenak.
“Hmm
sebetulnya ada, Bu. Temannya Teh Rani tapi Tari ragu. Tari khawatir akan masa
depan finansial. Sebetulnya, iya adalah pemuda yang baik agama dan akhlaknya,
hanya saja pekerjaannya tidak tetap Bu.”
“Tari,
masih ingat nasehat Ibn Atha`illah yang sering
dikatakan Almarhum ayahmu. Ibn Atha`illah menulis dalam kitabnya ‘Istirahatkan dirimu dari mengatur urusanmu
karena segala yang telah diurus untukmu oleh Allah SWT tak perlu engkau turut
sibuk memikirkannya’. Masih ingatkan Tar dengan nasehat itu?”
“Iya,
Bu.” Jawabku singkat.
“Allah
Maha Kaya, Maha Penyayang, Maha Pengatur, Maha Pemberi Rejeki. Kita tidak perlu
terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang sudah diatur oleh-Nya. Ibu ingin
menceritakan kisah anak gagak. Tari sudah tahu tentang kisah ini?”
“Belum,
Bu.”
“Ketika
anak gagak baru menetas, belum ada bulu yang tumbuh menutupi tubuhnya. Tubuhnya
masih terlihat putih kemerahan. Karena berbeda, sang induk merasa bahwa bayi
gagak itu bukanlah anaknya. Sehingga ia tidak memberikan makanan untuk sang
bayi. Apakah bayi gagak itu mati kelaparan? Tidak nak. Allah telah mengatur
rejeki untuk anak gagak itu. Bayi gagak mengeluarkan suatu cairan dari
tubuhnya. Cairan yang dapat mengundang serangga-serangga untuk mendekat. Dan
serangga-serangga itulah makanan untuk bayi gagak.” Ibu menatap Tari sendu,
“Apa yang Tari bisa pelajari dari kisah ini?”
“Allah
telah mengatur segala sesuatu untuk hambanya, Bahkan untuk rejeki bayi gagak
pun telah diatur oleh-Nya. Apalagi tentang urusan manusia, pasti telah diatur
dan dijamin oleh Allah, Bu.” Kataku.
“Nah,
akhirnya Tari mengerti. Jadi Tari tak perlu mengkhawatirkan apa-apa yang telah
dijamin oleh Allah. Tugas Tari hanyalah berusaha sebaik mungkin, berdoa dan
tetap berprasangka baik akan rencanaNya. Kalau menurut Tari, agama dan akhlak
ikhwan itu baik, ya sudah berproses saja dengannya. Siapa tahu memang dia orang
yang telah dipersiapkan Allah untuk Tari.”
“Iya,
Bu. Tari akan istikharah lagi untuk memantapkan hati."
***
Sebenarnya bukan kali
ini saja hatiku bergetar-getar tak karuan. Satu sisi hatiku berkata ‘iya’
satunya lagi berkata ‘tidak’. Sama seperti ketika aku memutuskan untuk
melanjutkan kuliah atau kerja. Suatu keputusan yang sulit. Lanjut kuliah tapi
belum ada biaya, sedangkan bila bekerja belum tentu bisa disambi dengan kuliah.
Ahh.. keputusan yang sulit.
Disaat momen-momen seperti itulah aku memutuskan
untuk istikharah. Meminta petunjuk kepada sang Pemilik Hati. Karena urusan
jodoh memang seringkali dikaitkan dengan ‘rahasia Ilahi’ yang mengejutkan. Ada yang baru
saja kenal tiba-tiba langsung menikah. Akan tetapi lebih banyak lagi yang sudah lama dekat namun apa dikata
akhirnya dipisahkan oleh sekat.
Sejak saat itu, aku mulai
memikirkan tawaran teh Rani. Sambil terus berdoa, aku pun mulai mencari-cari
tema bacaan tentang pernikahan. Sampai suatu ketika, secara tak sengaja, ketika
jam istirahat aku melihat Mutia sedang duduk sambil sesekali tersenyum
sendirian di sudut
ruangan,
“Hayyyoo!!!
Mutia, kamu kenapa ketawa-ketawa sendiri?”
tanyaku penasaran.
“Eh, Tari.. jadi malu.. hehehe” Mutia langsung buru-buru melepas headset
miliknya.
“Kamu
lagi nonton apa,
Mutia? sepertinya
seru sekali!” selidikku pada Mutia
“Ah,, enggak kok Tari. Bukan apa-apa.” Sanggah Mutia. Padahal jelas terlihat
raut mukanya terlihat
malu. Ia berusaha menutup-nutupi
layar gadget miliknya.
“Iiihh..
Mutia gitu ya sama aku,,” godaku sambil bermimik muka tanda kecewa.
“Tapi
jangan bilang siapa siapa ya, Tari? Pleassee…”
“Emmm,,
kira-kira gimana?” Aku terus menggoda Mutia. Sambil
memalingkan wajahku dari hadapan Mutia.
“Iya
deh.. iya.. tapi jangan bilang siapa-siapa loh ya?”
pinta Mutia penuh harap
“Ehehehe…
terus-terus gimana? Apa yang tadi Mutia tonton?”
“Sssttt…
jangan keras-keras Tari, banyak orang.”
Akhirnya kami mulai
menonton, sambil sesekali mata mereka melirik kanan-kiri berharap tidak ada
orang yang iseng mendekati mereka.
“Loh
Mutia, ini kan ustad yang sekarang lagi naik daun? Kajiannya banyak tersebar
dimana-mana.”
“Iya
Tari,,, Nah yang sekarang kita tonton ini temanya tentang NIKAH! En,, Iii,,
Kaa.. Ahh!” Jawab
Mutia penuh semangat membara.
“Hahahaha…
pantesan kamu sembunyi-sembunyi gitu nontonya, takut ketahuan ya???”
godaku.
“Hehehe..
Tari bisa aja.”
“Memangnya
Mutia sudah
ada calon?”
“InsyaAllah
sudah ada Tari..
tapi ini masih rahasia kita berdua ya”
“Wahhh…
selamat! Selamat! Gimana ceritanya?” Aku pun
memeluk pundak teman
mutia.
“Itu
panjang banget Tari, aku juga nggak nyangka.”
“Nggak
nyangka gimana?”
“Iya,,,
aku itu belum pernah kenal sama sekali dengan dia”
“Serius?
Terus apa yang membuatmu yakin dengannya?”
“emm… apa yaaaa,,,?”
“Pertama,
aku sangat senang dengan niat baik orangnya. Dia langsung menemui orangtuaku,
berkenalan dan mengutarakan niatnya untuk menikah”
“Kedua,
aku sempat selidiki juga ke beberapa temannya, semua mengatakan ‘dia baik
agamanya juga perangainya’.”
“Dua hal itu itu yang membuatku
yakin!”
“Iya, kan ada hadits yang
mengatakan “Jika datang melamar kepadamu orang yang kamu ridhoi agama dan
akhlaknya, maka nikahkanlah dengannya, jika kamu tidak menerimanya, niscaya
akan terjadi fitnah di bumi di bumi dan kerusakan yang luas – HR Tirmidzi”.”
“Iya.. iya… aku pernah tahu
itu Mutia.”
“Tapi
ganteng nggak Mutia?” godaku lagi
“Ya
ampun Tariii.. !!” kami berdua pun lalu tertawa dan melanjutkan kembali nonton video
kajian di youtube sampai jam istirahat usai.
Lepas itu, Aku semacam mendapatkan pencerahan dari Mutia.
Aku jadi bertambah yakin bahwa keraguanlah yang menghambat semuanya, padahal
ada Allah yang menjamin masa depan miliknya. Selama itu baik tak perlu ragu,
karena ragu bersumber dari tidak tahu.
“Mungkinkah
itu jawaban dari doa-doa istikharah ku?”
Segera ku ambil gadget
dan mengetik, “Assalamualaikum, Teh,,, Apakah ikhwan itu masih ingin
berta’aruf denganku? Jika iya, silahkan bertemu dengan bapak ku di rumah.” Sambil
membaca Bismillah dan menghembuskan
nafas berat,
Tari kirimkan pesan itu.
“SENT”
*) Tari juga sempat
menanyakan judul video itu. Judulnya ’Mahkota Pengantin’, video kajian berseri
di youtube. Cocok bagi yang belum menikah ataupun sudah menikah.