Jumat, 29 Juli 2016

Sosok Fikar

Fikar, pemuda umur 24 tahun. Perawakannya sedang, tak tinggi tak juga pendek, tapi rekan-rekannya sering menjulukinya 'anak kecil'. Hidungnya meski tidak pesek juga bukan idaman para wanita. Kulitnya blasteran kulit jawa dan cina, hitam putih seperti sapi. Rambutnya lurus, dengan warna sedikit kemerahan jika terpapar matahari. Rambut itu diwarisi oleh ibunya.

Masa kecil Fikar penuh lika-liku. Saat kecil ia dikenal sebagai anak sawah. Pulang sekolah, ganti baju, main ke sawah, katanya, "Umi, aku ke sawah ya, cari ikan!". Ikan "Jibud", julukannya Fikar dan kawan-kawannya. Ukurannya kecil tak sampai sejari kelingking. Jika digoreng lenyaplah ikan itu dalam hitungan menit. Biasanya ikan itu hanya di taruh dalam wadah toples plastik yang diisi air. Tiap hari diberi makan butiran nasi hingga ikan itu mati atau tewas diterkam kucing liar.

Lain di rumah lain pula di sekolah. Ia dikenal sebagai salah satu anak badung alias nakal. Sering masuk ruang BP karena berkelahi. Jika Fikar ditanya gurunya,"Mengapa kamu berkelahi lagi, Fikar?". Fikar akan menjawab, "Bu, saya itu tidak berkelahi, saya hanya membela diri kok." jawabnya santai sambil sesekali mengendus.

Meskipun Fikar sering membela diri (promis), ia adalah sosok anak yang penurut. Ibu Fikar sejak kecil tak pernah lelah mengingatkan kepadanya untuk selalu sholat dan berdo'a. Setiap ada kesempatan Fikar bercengkrama dengan ibunya, beliau selalu mengatakan, "Nak, tetaplah sholat dan berdo'a, ibu yakin kamu pasti jadi orang sukses!" sambil sesekali mengelus kepala Fikar. Momen itulah yang selalu diingat Fikar dimanapun ia berada. Setiap kali mendengar ucapan itu kepercayaan diri Fikar selalu bertambah dan membuatnya tak pernah membantah ucapan ibunya. Fikar satu-satunya anak yang memanggil ibunya dengan sebutan "Umi", katanya,"Biar aku selalu ingat umi."


****
Tulisan ini hanyalah fiktif belaka dan akan menjadi cerita yang bersambung. Untuk melihat sambungan ceritanya, silahkan teman-teman masuk ke label "Sudah Saatnya!"
Read More

Senin, 25 Juli 2016

TAK SEPENDEK AKAL MANUSIA

Tulisan ini merupakan bagian dari project sambung-menyambung tulisan yang saya tulis bersama kak Dian Yuni Pratiwi dan Novie Octavia. Tulisan sebelumnya bisa dilihat di label #ProjectMenulis 


Hujan deras turun di kotaku tepat saat aku hendak melangkah keluar kantor di jam pulang. Alih-alih menunggunya reda, aku tetap memilih untuk pulang karena teringat janjiku pada Ibu untuk membuatkannya makan malam. Aku pun berjalan menuju tempatku menunggu angkot. Rindangnya pepohonan ditambah dengan adanya suara-suara burung dan jangkrik di sepanjang jalan ini membuat aku merasa keluar masuk hutan setiap hari ketika pergi dan pulang kantor. Menyenangkan!

 Angkot yang aku tunggu pun datang. Aku langsung masuk dengan terburu-buru, khawatir derasnya hujan akan semakin membuatku basah kuyup. Di dalam angkot, aku dikejutkan dengan sebuah pemandangan menarik: seorang anak kecil yang sedang ketakutan dan seorang ibu yang memeluknya erat dari samping. Terlihat sekali bahwa anak itu sedang khawatir. Mungkin karena khawatir mainannya yang masih diletakkan di pekarangan kehujanan, atau karena khawatir dimarahi ayahnya karena ia menghilangkan jam tangan barunya, atau karena mengkhawatirkan masa depan. Eh, tunggu! Masa depan? Ah, tentu tidak mungkin anak sekecil itu mengkhawatirkan masa depan! Diam-diam, itu adalah khawatirku yang tak ingin aku ceritakan kepada banyak orang.

Tak lama kemudian, ponselku bergetar, seorang sahabat yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri meneleponku untuk ketiga kalinya di hari ini,

“Assalammualaikum, dek!” sapa sebuah suara di seberang sana.
“Waalaikumsalam. Ada apa, teh?” aku tahu pertanyaanku sangatlah basa-basi karena sebenarnya aku paham apa yang akan ditanyakannya.

“Gimana dek, apakah kamu sudah bersedia untuk berproses dengan temanku itu?”
“Aku sebenarnya tidak keberatan, aku pun telah mengenal ihwan itu dengan baik. Tapi, aku merasa perlu memikirkan ini lebih lanjut dulu.”
“Masih karena alasan ketidaksiapanmu dalam hal finansial?”
“Begitulah, teh ...”
“Baiklah kalau begitu, silahkan dipikirkan dengan bijaksana ya, dek! Ingat, ada Allah yang akan menghapuskan segala khawatirmu.”

Telepon pun terputus, menyisakan aku yang terdiam memandang layar ponsel. Ah! Ini adalah kekhawatiran masa depan yang tak bisa aku ceritakan kepada orang-orang. Bagaimana bisa aku menghkhawatirkan ini? Bukankah takdir Allah tak sependek akalku sebagai manusia?

***

            Tak lama kemudian, tibalah aku di rumahku yang sederhana namun penuh kedamaian. Segera aku mengucapkan salam, mencium tangan ibu, bergegas membersihkan diri, lalu menyiapkan makan malam. Aku tak ingin membuat ibu dan adik semata wayangku menunggu terlalu lama.  Aku ingin segera melihat mereka menikmati masakanku. Dan bagiku melihat mereka berdua menyantap masakanku dengan begitu lahapanya adalah hal yang paling membahagiakan.  Setelah itu kami pun makan malam, diselingi dengan percakapan dan canda tawa yang penuh kehangatan. Tiba-tiba ibu mengagetkanku dengan candaan yang membuatku tersipu,

            “Masakanmu makin lama makin enak, Tar. Udah cocok buat masakin pasangan dan mertua.” Ibu tersenyum lebar menggodaku.
            “Iya Bu. Doain ya, Semoga Tari bisa segera bertemu dengan jodohnya.” Jawabku sambil menunduk malu.
            “Apa tidak ada ikhwan yang sedang berproses denganmu, Tar?” Ibu menatapku sendu, Raut wajahnya berubah menjadi lebih serius.

            Ruangan hening sejenak.

            “Hmm sebetulnya ada, Bu. Temannya Teh Rani tapi Tari ragu. Tari khawatir akan masa depan finansial. Sebetulnya, iya adalah pemuda yang baik agama dan akhlaknya, hanya saja pekerjaannya tidak tetap Bu.”
            “Tari, masih ingat nasehat Ibn Atha`illah yang sering dikatakan Almarhum ayahmu. Ibn Atha`illah menulis dalam kitabnya ‘Istirahatkan dirimu dari mengatur urusanmu karena segala yang telah diurus untukmu oleh Allah SWT tak perlu engkau turut sibuk memikirkannya’. Masih ingatkan Tar dengan nasehat itu?”   
     
            “Iya, Bu.” Jawabku singkat.
           “Allah Maha Kaya, Maha Penyayang, Maha Pengatur, Maha Pemberi Rejeki. Kita tidak perlu terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang sudah diatur oleh-Nya. Ibu ingin menceritakan kisah anak gagak. Tari sudah tahu tentang kisah ini?”
            “Belum, Bu.”

            “Ketika anak gagak baru menetas, belum ada bulu yang tumbuh menutupi tubuhnya. Tubuhnya masih terlihat putih kemerahan. Karena berbeda, sang induk merasa bahwa bayi gagak itu bukanlah anaknya. Sehingga ia tidak memberikan makanan untuk sang bayi. Apakah bayi gagak itu mati kelaparan? Tidak nak. Allah telah mengatur rejeki untuk anak gagak itu. Bayi gagak mengeluarkan suatu cairan dari tubuhnya. Cairan yang dapat mengundang serangga-serangga untuk mendekat. Dan serangga-serangga itulah makanan untuk bayi gagak.” Ibu menatap Tari sendu, “Apa yang Tari bisa pelajari dari kisah ini?”

            “Allah telah mengatur segala sesuatu untuk hambanya, Bahkan untuk rejeki bayi gagak pun telah diatur oleh-Nya. Apalagi tentang urusan manusia, pasti telah diatur dan dijamin oleh Allah, Bu.” Kataku.

            “Nah, akhirnya Tari mengerti. Jadi Tari tak perlu mengkhawatirkan apa-apa yang telah dijamin oleh Allah. Tugas Tari hanyalah berusaha sebaik mungkin, berdoa dan tetap berprasangka baik akan rencanaNya. Kalau menurut Tari, agama dan akhlak ikhwan itu baik, ya sudah berproses saja dengannya. Siapa tahu memang dia orang yang telah dipersiapkan Allah untuk Tari.”

            “Iya, Bu. Tari akan istikharah lagi untuk memantapkan hati."

***


Sebenarnya bukan kali ini saja hatiku bergetar-getar tak karuan. Satu sisi hatiku berkata ‘iya’ satunya lagi berkata ‘tidak’. Sama seperti ketika aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah atau kerja. Suatu keputusan yang sulit. Lanjut kuliah tapi belum ada biaya, sedangkan bila bekerja belum tentu bisa disambi dengan kuliah. Ahh.. keputusan yang sulit.

Disaat momen-momen seperti itulah aku memutuskan untuk istikharah. Meminta petunjuk kepada sang Pemilik Hati. Karena urusan jodoh memang seringkali dikaitkan dengan ‘rahasia Ilahi’ yang mengejutkan. Ada yang baru saja kenal tiba-tiba langsung menikah. Akan tetapi lebih banyak lagi yang sudah lama dekat namun apa dikata akhirnya dipisahkan oleh sekat.

Sejak saat itu, aku mulai memikirkan tawaran teh Rani. Sambil terus berdoa, aku pun mulai mencari-cari tema bacaan tentang pernikahan. Sampai suatu ketika, secara tak sengaja, ketika jam istirahat aku melihat Mutia sedang duduk sambil sesekali tersenyum sendirian di sudut ruangan,

“Hayyyoo!!! Mutia, kamu kenapa ketawa-ketawa sendiri?” tanyaku penasaran.
Eh, Tari.. jadi malu.. hehehe” Mutia langsung buru-buru melepas headset miliknya.
“Kamu lagi nonton apa, Mutia? sepertinya seru sekali!” selidikku pada Mutia
Ah,, enggak kok Tari. Bukan apa-apa.” Sanggah Mutia. Padahal jelas terlihat raut mukanya terlihat malu. Ia berusaha menutup-nutupi layar gadget miliknya.

“Iiihh.. Mutia gitu ya sama aku,,” godaku sambil bermimik muka tanda kecewa.
“Tapi jangan bilang siapa siapa ya, Tari? Pleassee…”
“Emmm,, kira-kira gimana?” Aku terus menggoda Mutia. Sambil memalingkan wajahku dari hadapan Mutia.

“Iya deh.. iya.. tapi jangan bilang siapa-siapa loh ya?” pinta Mutia penuh harap
“Ehehehe… terus-terus gimana? Apa yang tadi Mutia tonton?”
“Sssttt… jangan keras-keras Tari, banyak orang.”

Akhirnya kami mulai menonton, sambil sesekali mata mereka melirik kanan-kiri berharap tidak ada orang yang iseng mendekati mereka.

“Loh Mutia, ini kan ustad yang sekarang lagi naik daun? Kajiannya banyak tersebar dimana-mana.”
“Iya Tari,,, Nah yang sekarang kita tonton ini temanya tentang NIKAH! En,, Iii,, Kaa.. Ahh!” Jawab Mutia penuh semangat membara.
“Hahahaha… pantesan kamu sembunyi-sembunyi gitu nontonya, takut ketahuan ya???” godaku.
“Hehehe.. Tari bisa aja.”
“Memangnya Mutia sudah ada calon?”
“InsyaAllah sudah ada Tari.. tapi ini masih rahasia kita berdua ya”
“Wahhh… selamat! Selamat! Gimana ceritanya?” Aku pun memeluk pundak teman mutia.

“Itu panjang banget Tari, aku juga nggak nyangka.”
“Nggak nyangka gimana?”
“Iya,,, aku itu belum pernah kenal sama sekali dengan dia”
“Serius? Terus apa yang membuatmu yakin dengannya?”
“emm apa yaaaa,,,?”
“Pertama, aku sangat senang dengan niat baik orangnya. Dia langsung menemui orangtuaku, berkenalan dan mengutarakan niatnya untuk menikah”
“Kedua, aku sempat selidiki juga ke beberapa temannya, semua mengatakan ‘dia baik agamanya juga perangainya’.”
“Dua hal itu itu yang membuatku yakin!”
“Sesimpel itu kah?”
“Iya, kan ada hadits yang mengatakan “Jika datang melamar kepadamu orang yang kamu ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dengannya, jika kamu tidak menerimanya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi di bumi dan kerusakan yang luas – HR Tirmidzi”.”
“Iya.. iya… aku pernah tahu itu Mutia.”
Tapi ganteng nggak Mutia?” godaku lagi
“Ya ampun Tariii.. !!” kami berdua pun lalu tertawa dan melanjutkan kembali nonton video kajian di youtube sampai jam istirahat usai.

Lepas itu, Aku semacam mendapatkan pencerahan dari Mutia. Aku jadi bertambah yakin bahwa keraguanlah yang menghambat semuanya, padahal ada Allah yang menjamin masa depan miliknya. Selama itu baik tak perlu ragu, karena ragu bersumber dari tidak tahu.
“Mungkinkah itu jawaban dari doa-doa istikharah ku?”

Segera ku ambil gadget dan mengetik, “Assalamualaikum, Teh,,, Apakah ikhwan itu masih ingin berta’aruf denganku? Jika iya, silahkan bertemu dengan bapak ku di rumah.” Sambil membaca Bismillah dan menghembuskan nafas berat, Tari kirimkan pesan itu.

“SENT”

*) Tari juga sempat menanyakan judul video itu. Judulnya ’Mahkota Pengantin’, video kajian berseri di youtube. Cocok bagi yang belum menikah ataupun sudah menikah.
Read More

Kamis, 21 Juli 2016

Kisah Dimulai!

Malam itu, Fikar, seorang pemuda berusia 20-an sedang asik dengan gadget miliknya. Ia bermain gadget sambil tiduran diatas lantai. Hal itu sering ia lakukan bila baru tiba di kontrakannya. Hari ini ia baru saja pulang dari kampus setelah menuntaskan mata kuliah terakhir di hari itu.

"ting!" gadget miliknya berbunyi, tanda notifikasi

"Asiikk.. dapet banyak like!!! " gumamnya dalam hati setelah melihat postingan yang baru ia kirim.

Berkali-kali gadget miliknya meneriakkan bunyi "ting!". Semakin banyak suara yang keluar, semakin giranglah hatinya. Entah mengapa... Memang anak muda zaman sekarang lebih mudah merasa senang saat ada notifikasi masuk ketimbang bercengkrama dengan teman. Lebih senang tinggal di dunia maya ketimbang dunia nyata.

Dari sekian banyak notifikasi yang Fikar dapat, ada satu akun yang membuatnya penasaran. Benar-benar membuatnya penasaran!

Ia penasaran karena biasanya disaat postingannya mendarat, disaat itulah para likers mendaratkan jempolnya di postingan yang baru ia daratkan. Tapi kali ini beda! Ada satu akun yang mendaratkan jempolnya tidak hanya di postingan baru miliknya, namun di beberapa postingan lawas, malahan bisa dibilang super lawas.

Kejadian ini baru pertama kali ia dapati. Akun tersebut berulang kali mendaratkan jempol dalam waktu bersamaan atau mungkin hanya selisih beberapa menit. Biasanya hal ini wajar, dan si pemilik akun posting akan mengira, "Ah, ini pasti ulah stalker!"

Tapi bagi Fikar beda. Ia sama sekali tak berpikiran likers tersebut ada stalker. Yang ada dibenaknya;

"Ini siapa???" tanya Fikar penasaran dalam hati.

Setiap notifikasi yang muncul, akan terlihat preview gambar profil pemilik akun. Dari deretan-deretan notifikasi itu Fikar hanya fokus pada satu akun. Preview gambar profil pemilik akun juga menambah kegusaran hati Fikar. Katanya dalam hati, “Cantik!”

Dari situ mulailah Fikar menelusur akun tersebut. Putaran-putaran buffer membuatnya tambah gregetan ingin segera mengetahui siapakah pemilik akun tersebut. Ia merasa putaran buffer seakan berputar sudah lebih dari satu jam!, padahal 10 detik juga belum lewat. “Ah, lama sekali!” ketusnya dalam hati.

Akun tersebut blank alias putih tak berwarna. Tak ada apa-apa kecuali gambar profil yang tak bisa diperbesar dan sebuah tombol follow. Tak pikir panjang otaknya langsung memberikan instruksi ke syaraf-syaraf yang langsung membuat bertekuk lutut otot jari jempul yang kemudian menekan tombol ‘follow’.

Dari situ kisah ini dimulai!



*****
Tulisan ini hanyalah fiktif belaka dan akan menjadi cerita yang bersambung. Untuk melihat sambungan ceritanya, silahkan teman-teman masuk ke label "Sudah Saatnya!"
Read More

Senin, 18 Juli 2016

Prasangka

Tulisan ini merupakan bagian dari project sambung-menyambung tulisan yang saya tulis bersama kak Dian Yuni Pratiwi dan Novie Octavia

Jam tanganku tepat menunjukkan pukul setengah tujuh malam dan aku masih terjebak di jalanan yang padat merayap sejak sejam yang lalu. Terjebak dalam angkutan umum sepi yang hanya ada aku dan seorang pemuda berambut gondrong dengan tato bergambar naga di lengan kanannya. Berkali-kali aku melihat jam tanganku dan jalanan yang tetap saja dipenuhi kendaraan yang berjejer seperti semut. Aku semakin khawatir tidak sempat menunaikan kewajibanku pada Allah. Aku pun gelisah dan curiga pada pemuda dihadapanku ini. Aku takut kalau tiba-tiba ia berniat buruk padaku. Bukankah niat buruk dapat datang pada keadaan yang memberikan kesempatan?

Akhirnya aku memutuskan untuk turun di sekitar perumahan warga, karena aku kira pasti ada masjid disana. Aku berjalan menyusuri jalan perumahan yang sepi dengan penerangan seadannya. Tiba-tiba terdengar langkah seseorang dibelakangku dan ternyata itu adalah pemuda bertato tadi. Dadaku berdebar, aku takut. Aku mempercepat langkahku. Berdoa dalam hati semoga tidak ada kejadian buruk yang akan menimpaku. Tak berapa lama, akhirnya aku melihat sebuah masjid. Aku semakin bergegas agar terhindar dari pemuda itu. Beberapa menit kemudian, akhirnya aku sampai di sebuah Masjid kecil namun indah dan masih ramai dengan para jamaah. Aku merasa lega bisa terbebas dari pemuda itu. Aku segera berwudhu dan melaksanakan sholat Magrib. Setelah itu, aku pun berdoa agar dapat segera tiba di rumah dan terhindar dari niat jahat orang lain. Aku rapikan mukenaku dan bersiap untuk pulang.

Ketika kakiku akan melangkah keluar masjid, mataku menangkap sosok pemuda bertato naga itu. Betapa kagetnya aku ketika melihat ia sedang berdoa dan nampak bahwa ia pun telah menunaikan sholat Magrib. Ia pun kemudian berjalan menuju kelas TPA yang berada di samping Masjid. Hatiku bertanya-tanya untuk apa ia ke kelas itu. Dan aku semakin terkejut ketika mengetahui bahwa ia mengajari para anak di TPA itu untuk membaca Al-quran.

Aku tersadar bahwa aku telah salah menilai. Curiga kalau ia mengikuti untuk berniat jahat padahal ia memang hendak munuju masjid ini. Ah, aku terlalu mudah menilai orang lain hanya karena penampilannya saja. Aku terlalu mudah berprasangka buruk pada orang lain. Semoga Allah mengampuni prasangkaku ini.

Waktu telah menunjukkan pukul 19.00. Tak lama kemudian, aku memutuskan kembali menuju jalan raya. Aku harus segera pulang karena tadi pagi aku telah berjanji kepada ayahku untuk tiba saat petang. Kulewati kembali jalan yang tadi kupakai saat turun dari angkutan umum. Tak jauh, kurang lebih 5 menit aku telah tiba di bibir jalan. Alhamdulillah, angkutan umum langsung hinggap dimana aku berdiri menantinya. Setelah ku masuki angkutan itu ku katakan pada sopir, "Pak, turun di gang sepuluh ya!" seruku.

Selama perjalanan kumanfaatkan waktuku untuk mengulang hafalan. Mulut seperti menguyah namun tak bersuara. Jika lupa, ku buka smartphone milikku, lalu kembali melanjutkan mengunyah hafalan.

"Assalamu'alaikum..!" sapa ku saat memasuki rumah. 

Rumahku? Eerrr, bukan. Maksudku rumah milik orang tua ku. Berukuran 90 meter persegi tapi berlantai dua. Dindingnya didominasi warna putih tulang. Didalamnya ada empat kamar. Kamarku berada di lantai atas.

Setelah kulepaskan sepatu, aku bergeges menujukamarku. Tangga menuju lantai dua berada di sisi paling barat di rumah ini. Tangga itu bersebelahan dengan ruang tidur orang tuaku. Saat aku mulai menaiki anak tangga, tak sengaja aku menengok ke arah dalam ruang tidur orang tuaku. Ku lihat disana ayahku sedang bercengkrama dengan ibu. Ayahku sepertinya terlihat serius. Entah aku tak tahu. Badanku terpaku, terdiam sesaat, lalu melanjutkan kembali langkah kaki menuju anak tangga berikutnya.

Tiba di kamar, aku memaksa diri untuk bersuci yang kemudian dilanjutkan Shalat Isya. Aku takut jika sudah terbaring di atas kasur nan empuk malah melenakanku dari kewajiban aku. Maka dari itu selepas menaruh tas, aku langsung menuju kamar kecil untuk mandi dan berwudhu. Tak lupa aku mendoakan kedua orangtuaku saudara, dan teman-teman yang aku cintai. Semoga apa yang diazamkan diijabah oleh Allah.

Selepas Shalat, aku mencoba menebak-nebak apa isi obrolan ayah dan ibuku. Apa yang membuat mereka sampai terlihat serius, sampai-sampai mereka mungkin tidak tahu kedatanganku. Lalu muncullah pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalaku.

"Apakah aku telah berbuat salah?"

"Ataukah ayah dan ibu sedang terlibat permasalahan?"

"Ataukah mereka merencanakan sesuatu"
 
Ah, entahlah... Badanku hari ini terlalu lelah untuk memikirkan hal itu. Kemudian aku memeluk erat teman tidurku sambil mulut komat-kamit melantunkan doa sebelum tidur, “Bismika Allah......"

***
Keesokan paginya, seperti biasanya, aku terbangun sebelum adzan subuh berkumandang. Seperti jam biologis yang telah teratur dengan presisi, setiap hariku pasti terbangun di jam yang sama. Bedanya, kali ini aku terbangun dengan pikiran yang kacau, aku semakin bertanya-tanya tentang apa yang dibicarakan oleh kedua orang tuaku tadi malam. Ah, aku tak kunjung menemukan jawaban! Aku pun segera bangun dan mengambil air wudhu.
 
Dini hari seperti ini memang waktu yang sering aku nantikan. Tak ada alasan lain, aku hanya ingin berlama-lama bercerita kepada Rabbku. “Doaku hari ini tak sama dengan yang kemarin, ya Rabb!” bisikku ke dalam hati. Ya, kali ini aku bercerita kisah yang berbeda, pun mengucap doa yang berbeda. “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kesalahan-kesalahan yang tanpa sengaja aku lakukan, juga dari prasangka yang membuatku menduga dan menerka apa-apa yang tak sanggup kupikirkan dengan logika.” 

Tanpa sengaja, air mataku pun jatuh susul-menyusul. Hingga aku dikagetkan dengan suara ketukan dari balik pintu. Rupanya Ibu memasuki kamarku.

“Nak, mengapa kamu menangis?”

“Aku salah apa? Mengapa Ayah dan Ibu begitu serius membicarakan aku semalam?”
 
“Nak, ...” Ibu tersenyum membuatku bingung, “Tak ada yang salah denganmu, Ibu dan Ayah hanya sedang merencanakan hadiah kelulusan untukmu. Kami sudah memesankanmu satu kursi keberangkatan ke Tanah Suci untuk melaksanakan umrah. Bulan depan kamu berangkat ya, Nak!”
 
Aku terkejut bukan main! Kupeluk Ibu sambil menangis haru di pelukannya. Aku malu pada diriku sendiri. Mengapa aku selalu dengan mudahnya memberikan penilaian buruk kepada orang lain? Bukankah aku harus berhati-hati karena sebagian besar dari prasangka itu dosa? Allah, ampunilah dosaku.

Read More